Sejarah Asmat : Legenda Fumeripits
Sekalipun orang Asmat mengakui yang muncul pertama kali ke muka bumi adalah perempuan (dalam bentuk pepohonan), tapi sejarah Asmat tidak berasal dari situ. Sejarah Asmat dibangun berdasarkan legenda Fumeripits. Fumeripits diyakini sebagai leluhur Asmat yang dihidupkan kembali oleh burung bertuah saat ia terdampar di kawasan Asmat. Ia membangun rumah yang memanjang, yang selanjutnya disebut rumah bujang (jew)[1] dan membuat puluhan patung manusia dari kayu. Suatu ketika ia juga membuat tifa, dan saat ia menabuhnya, puluhan patung yang dibuatnya berubah wujud menjadi manusia. Patung-patung yang telah berubah wujud itulah diyakini sebagai cikal bakal orang Asmat[2].
Oleh karena patung itu dari kayu, maka manusia-manusia itupun dinamakan Asmat. Jadi selain makna kayu dikarenakan pandangan terhadap dua roh mama tua yang diceritakan di atas, legenda Fumeripits ini juga mendukung pemaknaan nama Asmat itu sendiri sebagai kayu. Selain itu, legenda ini juga menghasilkan makna lain dari Asmat, yaitu Asmat-ow, yang berarti kami adalah orang yang sesungguhnya (we the real people). Bermakna demikian karena mereka telah hidup menjadi manusia, berbeda dengan roh orang mati atau orang lain di sekitarnya. Tobias Schneebaum menyebutnya sebagai contradistinction[3].
Dengan meyakini asal usul mereka adalah dari kayu, dan keyakinan mereka pula bahwa makhluk yang pertama kali muncul adalah pepohonan, maka tidak heran jika Asmat mengidentikkan diri mereka sebagai pohon. Bagi mereka, kaki itu sama dengan akar, tubuh mereka adalah batang, lengan mereka sama dengan cabang/ranting, dan kepala mereka adalah buah dari pohon tersebut.
Sampai di sini jelas meskipun yang diyakini muncul pertama kali ke permukaan bumi adalah roh perempuan, namun yang dianggap sebagai manusia pertama di Asmat adalah laki-laki. Penjelasan ini lebih lanjut akan berimplikasi pada pesta-pesta yang dilakukan masyarakat Asmat dan ukiran-ukiran ciptaan mereka. Dalam pesta-pesta itu pemujaan dilakukan bukan hanya terhadap roh nenek moyang perempuan tetapi justru malah lebih ditekankan kepada laki-laki. Demikian pula dalam ukiran, nenek moyang orang Asmat lebih sering digenderkan sebagai laki-laki.
Hal ini menarik untuk dibahas dengan menggunakan kacamata ekofeminisme spiritual. Bila kita melihat keyakinan Asmat bahwa makhluk yang pertama kali muncul adalah roh perempuan, maka sesungguhnya masih ada celah untuk menggali spiritualitas perempuan untuk dapat mengeluarkan perempuan Asmat dari kontrol patriarki.Β Namun demikian tepat atau tidaknya pemberdayaan dengan cara tersebut masih membutuhkan pemahaman lebih jauh mengenai nilai-nilai dalam masyarakat Asmat itu sendiri.
Ukiran : Pemisahan Perempuan Asmat dari Budaya
Penghormatan orang Asmat terhadap roh nenek moyang itu sendiri tampil pula dalam wujud karya seni, terutama ukiran. Keyakinan akan legenda Fumeripits telah menjadikan ukiran bagian dari kehidupan religius dan ritual bagi komunitas ini. Ukiran mereka berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan dunia nenek moyang. Orang Asmat meyakini bahwa roh para nenek moyang mengontrol aktivitas kehidupan mereka. Melalui ukiran, mereka dapat melakukan kontak langsung dengan para nenek moyang. Ukiran memainkan peran penting dalam banyak upacara dan pesta, terkait dengan kesejahteraan, kematian, inisiasiΒ masa remaja, dan pemburuan kepala manusia (pengayauan). Khusus dalam ritual kematian, tiap ukiran dapat dinamakan sesuai dengan nama orang yang baru saja meninggal. Ketika sebuah ukiran dinamakan, maka ukiran itu telah dihuni roh orang tersebut.
Ukiran tradisional yang paling populer adalah tiang nenek moyang [ancestor (bisj) poles]. Mengandung dua atau lebih figur manusia yang diukirΒ satu di atas yang lain, galah/tiang ini dapat mencapai ketinggian 25 kaki. Ukiran ini dibuat dari kayu lunak dari pohon bakau. Figur manusia yang diukir menggambarkan roh nenek moyang tertentu yang keturunannya dapat memanggil mereka kembali. Bila pemanggilan ini dilakukan dalam pesta patung bisj maka roh nenek moyang itu diharapkan dapat hadir untuk melihat bahwa kematian anggota keluarga telah dibalaskan.
Perisai perang juga menjadi ekspresi seni orang Asmat. Perisai itu diberi nama sesuai dengan roh nenek moyang agar roh itu dapat menempati perisai dan memberikan kekuatan untuk menang berperang. Kombinasi kekuatan roh dan desain simbolis di permukaan perisai diyakini dapat menakuti musuh sehingga mereka menjauhkan diri, menyerahkan senjata, dan tidak dapat melawan. Namun seiring dengan perkembangan peradaban, orang Asmat kini berhenti berperang. Perisai pun kini jarang dibuat, danΒ bahkan dikhawatirkan akan hilang dalam budaya Asmat.
Hal lain yang khas dalam karya seni orang Asmat adalah penggunaan tiga warna saja dalam ukiran mereka : putih, merah, dan hitam. Putih (limau) berasal dari kulit kerang yang dibakar, yang menggambarkan kekuatan, kecepatan, dan perlindungan, dan dunia atas. Dalam ukiran, putih juga menandakan kulit manusia.Β Β Merah berasal dari lumpur sungai yang dibakar. Warna merah biasanya diletakkan di sekitar mata manusia, meniru mata kakatua yang marah, untuk menakuti musuh. Dalam ukiran, merah digunakan untuk menegaskan βkengerian’. Merah juga dijadikan sebagai pemisah rambut hitam dengan kulit putih. Oleh karena itu merah adalah dunia tengah, yaitu dimana manusia hidup. Hitam itu sendiri berasal dari batu bara dan menunjukkan bulu tubuh pada ukiran. Hitam menggambarkan dunia bawah.
Selain itu, potensi laki-laki juga ditampilkan dengan sangat jelas dalam karya seni Asmat. Meskipun anatomi tubuh laki-laki dan perempuan keduanya ditampilkanΒ secara kongkrit dalam ukiran Asmat, namun penis (tsjemen) roh nenek moyang ditampilkan secara lebih nyata. Potensi laki-laki juga ditampilkan dalam βkelaki-lakian’ (manliness), keberanian, ketidakgentaran, dan pembunuhan musuh.Β
Ukiran, perisai, dan benda seni lainnya hanya boleh dibuat oleh laki-laki. Perempuan tidak diizinkan untuk mengukir. Padahal mengukir sama artinya dengan menciptakan budaya. Ketika perempuan dilarang untuk mengukir, itu sama saja dengan menjauhkan perempuan dari budaya. Hal ini persis yang dikatakan Simone de Beauvoir bahwa laki-laki diasosiasikan dengan budaya dan perempuan dengan alam. Menurut Beauvoir, hal ini dikarenakan laki-laki tidak mampu mencipta melalui reproduksi biologis, sehingga ia menciptakan yang artifisial[4]. Dalam masyarakat Asmat, karya artifisial ini berwujud ukiran, perisai, dan benda-benda seni lainnya yang hanya boleh dibuat oleh laki-laki.Β
Penjauhan perempuan dari budaya pada akhirnya akan mendekatkan perempuan kepada alam. Selanjutnya sebagaimana yang dikemukakan Bina Agarwal (1992), karena alam digambarkan inferior terhadap budaya, demikian pula perempuan terhadap laki-laki[5]. Menurut Beauvoir, opresi terhadap perempuan tidak akan pernah selesai, sampai ia dapat mentransendensi alam dengan bergabung bersama laki-laki menuju kebudayaan[6].Β
Laki-laki Asmat memang dilekatkan kepada tugas-tugas yang terkait dengan budaya. Selain mengukir, laki-laki Asmat juga menjadi pelaksana pesta-pesta adat.Β Sementara tugas perempuan lebih dikaitkan dengan sifat-sifat alam. Perempuan bertugas mengasuh sama seperti alam yang mengasuh. Perempuan menyediakan makanan sama seperti alam yang memberikan kehidupan. Pembagian tugas ini dalam masyarakat Asmat sangat erat kaitannya dengan falsafah hidup mereka, yaitu keseimbangan.
Prinsip Keseimbangan Kosmis : Pelanggengan Kekerasan Terhadap Perempuan Asmat
Hampir seluruh kehidupan masyarakat Asmat diarahkan oleh filosofi keseimbangan (balance) kosmis. Keseimbangan ini penting untuk menjaga keteraturan dan eksistensi masyarakat Asmat. Masyarakat Asmat meyakini bahwa dalam hidup itu harus ada timbal balik. Timbal balik ini akan menjaga keseimbangan yang selanjutnya menghasilkan harmoni. Keseimbangan harus dijalin antara manusia dengan roh, manusia dengan manusia (musuh, teman, keluarga),Β dan manusia dengan lingkungan. Jika keseimbangan tidak tercapai, Asmat akan menderita penyakit, kematian, kelaparan, dan ketidakberuntungan lainnya.
Prinsip keseimbangan ini dipraktikkan mulai dari perkawinan, awal terbentuknya sebuah keluarga.Β Ketika dua keluarga mempertukarkan anak mereka, maka segala sesuatu diyakini akan berjalan dengan seimbang. Pemberian makanan atau perabotan saat perkawinan harus dilakukan untuk menjamin pertukaran yang seimbang. Selain itu tidak ada syarat apapun ketika dua individu saling tertarik untuk membentuk keluarga. (Meskipun sewaktu pengayauan masih berlaku, laki-laki yang boleh menikah hanya yang telah berhasil memenggal kepala musuh). Mereka direstui tetua adat lalu keduanya dapat langsung hidup bersama. Namun demikian tidak ada ikatan resmi yang sesungguhnya di antara mereka. Hal ini sedikit banyak mengurangi rasa tanggung jawab laki-laki dalam rumah tangga yang dibentuknya.
Prinsip keseimbangan ini pula yang menyebabkan pembagian peran gender dalam keluarga Asmat. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai salah satu cara mencapai keseimbangan antar manusia.Β Sayangnya, pembagian ini sangat patriarkis. Laki-laki adalah kepala, pihak yang maju berperang, pengukir, penabuh tifa, penjaga, dan pelaksana ritual. Mereka bertugas membangun rumah, membuat perahu, dan memburu babi ataupun buaya. Sedangkan perempuan mengerjakan tugas-tugas domestik seperti menyediakan makanan, mengumpulkan kayu bakar, menjaring ikan,Β membuat tikar atau tas, menjaga rumah dan anak-anak, dan membantu suami membuat rumah serta perahu.
Pembagian peran yang seperti inilah yang akhirnya membuat perempuan menderita. Amat disayangkan bahwa pembagian ini didasarkan pada satu falsafah tertinggi dalam masyarakat Asmat. Sebagai falsafah tertinggi, keseimbangan kosmik ini menjadi sendi kehidupan bagi masyarakat Asmat. Dengan demikian, setiap anggota suku harus patuh menjalani falsafah ini. Tidak heran bila perempuan Asmat tidak dapat melepaskan diri dari penderitaannya yang telah dilekatkan sedemikian rupa terhadap mereka atas nama keseimbangan kosmik.
Namun jelas dalam hal pembagian peran tersebut, patriarki adalah dasarnya. Patriarkilah yang telah melekatkan perempuan Asmat kepada tugas-tugas domestik yang demikian berat. Patriarkilah yang melekatkan perempuan Asmat kepada alam. Hal ini senada dengan pandangan ekofeminisme sosial (is) bahwa koneksitas antara alam dan perempuan telah diperkuat oleh kelicikan patriarki[7]. Jadi sekalipun perempuan Asmat disimbolkan sebagai alam secara terhormat, namun opresi itu tetap terjadi. Karena jelas penghormatan itu hanya dilandaskan pada prinsip keseimbangan yang sangat patriarkal dalam hubungan antar jenis kelamin.
Oleh karena prinsip keseimbangan ini pula tidak ada perempuan Asmat yang tidak menikah. Meskipun mereka menyadari resiko pernikahan bagi hidup mereka namun mereka wajib menikah untuk meneruskan generasi. Oleh karena itu, poligami pun tidak dilarang dalam masyarakat Asmat. Karena setelah perkawinan, maka keseimbangan akan dicapai dengan terjadinya proses kehamilan ibu dan kelahiran anak. Kehamilan merupakan upaya mencapai keseimbangan karena dapat menjaga keseimbangan jumlah sanak saudara yang telah meninggal (hidup dalam dunia roh) dan mereka yang masih hidup. Oleh karena itu seorang perempuan yang tidak dapat melahirkan akan dikenai stigma karena telah menghambat keseimbangan. Penghargaan terhadap kelahiran ini juga terjadi dalam keyakinan bahwa roh perempuan yang meninggal saat melahirkan akan bebas menuju safar (surga).
Dengan demikian jelas seorang perempuan Asmat seolah-olah diharuskan untuk melahirkan. Semakin banyak anak yang lahir, maka semakin subur mereka, dan itu berarti semakin mereka menyumbang terhadap keseimbangan kosmik. Tidak heran jika hal ini nanti akan mempengaruhi pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) di wilayah ini. Karena mengikuti program KB adalah membatasi kelahiran, yang berarti pula menghambat pencapaian keseimbangan.
Sama seperti kelahiran, kematian juga dianggap sebagai cara menyeimbangkan jumlah orang yang masih hidup dengan jumlah roh orang yang telah meninggal.Β Kematian lansia dianggap sebagai peristiwa normal sebagaimana manusia akan meninggal bila usia tua tiba. Namun biasanya jarang ada orang Asmat yang mencapai usia 70 tahun karena wilayah Asmat rentan terkena malaria, pneumonia, infeksi, dan epidemi kolera yang terjadi sesekali.
Kematian bayi juga dianggap wajar, meskipun menandakan kurangnya dua energi kehidupan, yaitu yuwus dan ndamup. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Asmat tidak merasa bermasalah dengan bayi yang meninggal dunia. Mereka tidak berupaya mencari tahu penyebab kematian bayi tersebut karena menganggap sudah mengetahuinya. Masyarakat Asmat meyakini 50-60% anak berusia di bawah lima tahun akan meninggal karena merasa diabaikan atau tidak diperlakukan dengan baik oleh keluarganya. Dalam hal ini yang dimaksud keluarga adalah ibu, karena ibu yang bertugas mengasuh anak. Jadi kematian bayi, di satu sisi dianggap normal, namun di sisi lain membangkitkan rasa bersalah dalam diri ibu.
Sedangkan kematian karena pembunuhan khususnya yang dilakukan oleh pihak lawan/suku lain, harus diseimbangkan dengan memenggal kepala pihak lawan pada saat yang telah ditentukan oleh kepala perang.Β Pemenggalan kepala ini dikenal sebagai praktik pengayauan dan kanibalisme dalam sistem kepercayaan Asmat. Pengayauan dilakukan karena roh orang Asmat yang dibunuh tidak dapat menuju safar. Mereka akan masuk ke dalam dampu ow capirnmi, yaitu persinggahan roh orang mati sebelum sampai ke safar.
Roh-roh di dampu ow capirnmi ini diyakini sebagai penyebab penyakit, penderitaan, bencana alam, dan peperangan. Oleh karena itu roh itu harus dibantu agar sampai ke safar. Untuk itu harus ada pemenggalan kepala orang-orang dari kelompok yang membunuh itu.Β Jumlah yang dibunuh oleh orang Asmat harus sama banyak dengan jumlah rekan-rekan mereka yang telah dibunuh. Jadi tujuan pengayauan ini bukan membalas dendam, melainkan mengembalikan keseimbangan yang hilang ketika ada anggota suku Asmat yang terbunuh.Β
Pengayauan ini dilakukan oleh pemuda-pemuda yang beranjak dewasa. Pengayauan juga menjadi tanda awal kedewasaan laki-laki.Β Pengayauan dimulai setelah mendapatkan isyarat kepala perang yang sekaligus memulai perayaan pesta patung bisj. Saat ini pengayauan telah dihentikan sering dengan masuknya ajaran agama Kristen dan pemerintahan Indonesia di Papua. Namun pesta patung bisj tetap diadakan, dengan modifikasi ritual agar keseimbangan yang dulunya dikembalikan melalui pengayauan bisa tetap tercapai meskipun pengayauan itu tidak lagi dilakukan.
Pesta patung bisj hanya merupakan salah satu dari tiga pesta besar suku Asmat yang dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan. Pesta patung bisj dilakukan 4 tahun sekali setelah tetua adat yang adalah laki-laki bermusyawarah untuk menentukan hari baik. Pesta ini dimulai dengan keberangkatan laki-laki ke tengah hutan untuk menebang pohon yang akarnya mencuat keluar. Akar yang mencuat keluar ini merupakan simbol kepala lawan, yang sebelum pengayauan ditiadakan, mereka benar-benar harus memenggal kepala lawan. Pohon-pohon ini akan diukir oleh para pemuda (yang belum menikah) yang ditugaskan sebagai pengukir. Setelah batang kayu ditebang hingga sore hari, batang-batang itu diangkut ke kampung.
Sementara itu perempuan harus memangkur, meramah, dan mengolah sagu dalam jumlah besar untuk dijadikan hidangan pesta dan konsumsi para pengukir.Β Saat sore hari, sebelum kembalinya para suami dari menebang pohon, perempuan sudah bersiap di tepi sungai. Mereka menyambut kedatangan suami mereka di tepi sungai dengan mengenggam senjata tajam seperti pisau, parang, tulang kasuari, panah, dan tombak. Mereka sudah menunggu hari ini untuk membalas kekerasan yang telah dilakukan laki-laki selama ini dalam rumah tangga mereka.
Pihak laki-laki terlebih dahulu melontarkan caci maki untuk memancing kemarahan. Setelah itu perempuan akan mulai menyerang tanpa laki-laki boleh memberikan perlawanan. Saat itu perempuan boleh melakukan semua tindak kekerasan yang telah dilakukan pihak suami namun tidak boleh melebihi tindak kekerasan yang telah dilakukan suami. Misalkan jika laki-laki tidak pernah membacok mereka dengan parang maka dalam kesempatan ini perempuan pun tidak boleh melakukannya. Ketika hari telah gelap, maka pembalasan para istri ini dihentikan. Luka-luka suami dibalut, lalu dilanjutkan dengan pesta di rumah bujang. Pesta ini berlangsung selama kurang lebih tiga bulan.
Jadi tiap hari selama tiga bulan itu mulai petang hingga malam tiba, masyarakat Asmat mengupayakan keseimbangan. Keseimbangan itu tercapai ketika para istri menyiapkan makanan, para suami menebang pohon yang akarnya mencuat, dan para pengukir mengukir di rumah bujang tanpa boleh dilihat oleh siapapun kecuali tetua adat. Keseimbangan itu juga dicapai saat perempuan membalas kekerasan suaminya selama ini terhadap mereka. Selain itu, keseimbangan juga dicapai pada puncak pesta di malam sebelum pesta patung bisj berakhir.
Puncak pesta itu sering disebut sebagai pesta setan, yang dilakukan setelah patung-patung selesai diukir dan siap ditanam di muka rumah bujang keesokan harinya. Setan itu merupakan perwujudan dari roh nenek moyang yang turun dan ikut menari di rumah bujang semalam suntuk. Roh itu sebenarnya adalah tetua adat yang mengenakan pakaian setan. Dalam pesta setan itu, biasanya tetua adat akan menari terus mengikuti irama tabuhan tifa hingga mengalami kesurupan (trance).
Dalam bukunya, Dewi Linggasari menyatakan pesta setan sebagai penutup dari pesta patung bisj itu merupakan simbol dari hubungan afeksi antara orang-orang yang sudah tiada dengan mereka yang masih hidup[8]. Kehadiran roh dalam pakaian setan itu adalah perlambang bahwa sesungguhpun mereka telah tiada, akan tetapi hubungan cinta kasih tetap ada, sehingga mereka perlu menyatu dalam kristal kehidupan suku Asmat untuk memberi kekuatan. Itulah wujud salah satu keseimbangan lainnya dalam pesta patung bisj.
Pesta lainnya yang merupakan upaya mencapai keseimbangan adalah pesta ulat sagu. Pesta ini dilakukan setelah kaum laki-laki selesai membangun atau memperbaiki rumah bujang yang telah rusak[9]. Sebelumnya terlebih dahulu ditentukan hari baik kapan pesta dilakukan. Pesta ini juga dikenal sebagai hari perempuan karena pada hari itu perempuan dibebastugaskan dari kegiatan memangkur, meramah, dan mengolah sagu. Hari itu kaum laki-lakilah yang harus menggantikan tugas istri sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.
Kegiatan memangkur, meramah, dan mengolah sagu serta ulat sagu telah menjadi rutinitas perempuan, yang seolah dianggap lumrah bila dilakukan perempuan. Namun ketika laki-laki yang melakukannya, maka kegiatan ini diiringi dengan upacara βpelepasan’ laki-laki ke hutan. Dalam pesta ini laki-laki juga mengenakan pakaian adat terbaik, dilengkapi dengan hiasan-hiasan kepala, dan polesan wajah dengan pewarna merah, putih, dan hitam. Hal ini dikarenakan laki-laki adalah pemeran utama di dalam setiap pesta. Bahkan meskipun pesta itu ditujukan untuk menghormati perempuan.
Setelah laki-laki selesai mengolah sagu dan ulat sagu maka tiba saatnya ulat sagu itu dikalungkan ke leher istri dan saudara ipar perempuan. Prosesi pengalungan itu dilakukan di rumah bujang. Setelah itu kaum lelaki dari marga Jiwiwoy akan menuangkan ulat sagu ke dalam sebuah kerucut pelepah sagu. Hanya laki-laki dari marga Jiwiwoy yang boleh melakukan penuangan itu. Hal ini menunjukkan adanya kelas di dalam kelas (laki-laki). Terakhir adalah proses testimoni orang-orang yang pernah melakukan pengayauan. Atas setiap kepala yang diayau maka sebuah tali pengikat kerucut pelepah sagu akan dipotong. Maka satu demi satu ulat sagu berjatuhan dan dipungut. Maka pesta menyantap sagu pun dimulai. Setelah itu kaum laki-laki melanjutkannya dengan berpesta di hutan.
Setelah melepas laki-laki untuk berpesta di hutan, perempuan dan anak-anak biasanya pulang ke rumah. Satu keseimbangan lagi telah dicapai. Perempuan telah dibalas kebaikannya oleh laki-laki pada pesta itu. Kepala-kepala yang diayau juga diizinkan rohnya menuju safar, yang ditandai dengan pemotongan kerucut pelepah sagu.
Prinsip keseimbangan inilah yang telah melanggengkan opresi terhadap perempuan Asmat. Memang benar laki-laki Asmat tidak berusaha menundukkan alam karena akan merusak keseimbangan itu sendiri. Namun demikian denganΒ prinsip keseimbangan ini maka perempuan tidak akan melakukan perlawanan terhadap kekerasan yang dilakukan suaminya. Laki-laki pun tidak merasa bersalah melakukan kekerasan terhadap istrinya. Semua itu berlangsung terus menerus karena mereka meyakini bahwa akan tiba waktunya untuk melakukan penyeimbangan (pembalasan).
Dalam kondisi seperti ini, saya tidak yakin apakah Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 dapat diterapkan bagi masyarakat Asmat. Padahal sebagaimana yang dikatakan Lawrence Feldman, bahwa substansi hukum yang sudah baik sekalipun perlu didukung pelaksanaannya oleh budaya hukum. Dengan budaya masyarakat Asmat yang melanggengkan KDRT, akan sangat sulit UU PKDRT untuk diimplementasikan.
Menjaga keseimbangan kosmos juga dilakukan dengan budaya pertukaran makanan dan jasa yang bersifat timbal balik. Tidak jarang keluarga yang tidak memiliki makanan akan meminta kepada sanak saudara mereka. Suatu saat jika saudara mereka meminta makanan, mereka juga harus dapat memberikannya. Setiap hutang apapun juga harus dilunasi. Jika tidak, maka kehidupan masyarakat diyakini akan terganggu. Prinsip keseimbangan dalam hal ini berpengaruh pula terhadap pola hidup mereka yang subsisten. Mereka tidak pernah berpikir untuk mengolah lebih, untuk memproduksi, untuk menyimpan.
Keseimbangan kosmik sebagai falsafah yang paling utama dalam kehidupan masyarakat Asmat ini akan terus terjadi. Keseimbangan kosmis ini telah menjadi sistem keyakinan yang terinternalisasi, dan terus dilanggengkan dalam pesta-pesta adat. Sistem keyakinan ini sulit digoyahkan, bahkan dengan kehadiran institusi gereja yang menentang kekerasan sekalipun.
[1] Selanjutnya dalam masyarakat Asmat,Β rumah bujang hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki saja. Rumah bujang ini digunakan sebagai tempat tinggal oleh para laki-laki yang belum menikah ataupun sebagai tempat bermusyawarah yang hanya boleh dihadiri kaum laki-laki. Namun dalam pesta-pesta, kaum perempuan boleh memasuki rumah bujang.[2] “Antara Penghidupan dan Ritual Suku Asmat”, Kompas, 4 Desember 2006.
[3] Tobias Schneebaum, “Embodied Spirits : Ritual Carvings of the Asmat, 1990 p. 12., Peabody Museum of Salem. The World of Asmat, Singapore Zoological Gardens, 2003, http://www.szgdocent.org/ff/f-asmat.htm Β
[4] Exploring Ecofeminist Perspectives, mengambil dari Plumwood, V. (1986). Ecofeminism: An Overview and Discussion of Positions, Australian Journal of Philosophy, Vol. 64, pp. 120-38.
[5] ibid
[6] Dalam Tong, Rosemarie Putnam, “Feminist Thought. Pengantar Paling Komprehesif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.” (terj.Aquarini Priyatna Prabasmoro), 2004. Hal. 370.
[7] Kathi Wilson, Exploring Ecofeminist Perspectives, mengambil dari Plumwood, V (1986) Ecofeminism: An Overview and Discussion of Positions, Australian Journal of Philosophy, Vol. 64, pp. 120-38.
[8] Dewi Linggasari, 2002, Realitas Di Balik Indahnya Ukiran. Potret Keseharian Suku Asmat di Kecamatan Agats. YogyakartaΒ : Penerbit Kunci Ilmu, bekerja sama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Ford Foundation.Β Hal. 81.
[9] “Adat Asmat. Pesta Ulat Sagu”, dalam Kompas, Senin 4 Desember 2006.
Leave a comment