Susah Gampangnya Memilih Soul Mate

Lebih sulit mana proses yang dijalani capres untuk memilih cawapres atau proses yang harus dilewati seseorang untuk memilih calon pendamping hidupnya? Pertanyaan ini diajukan seorang rekan tidak lama setelah para capres mengumumkan cawapres beberapa waktu lalu. Hmm…hmm!

Saya sempat berpikir , mungkin lebih sulit memilih cawapres, mengingat keduanya kelak akan menjadi orang nomor satu dan nomor dua negeri ini jika terpilih nanti. Bila membina rumah tangga- notabene unit terkecil dari masyarakat- saja susahnya minta ampun, apalagi mengurus negara. Pasti repotnya engga ketulungan.

Namun di sisi lain, saya tercenung memikirkan konsekuensi yang menanti setelah kita memilih pendamping hidup. Bayangkan, kita harus memilih seseorang yang akan bersama kita- dalam satu rumah, bahkan satu ranjang- untuk rentang waktu tak terbatas. Apa kita tidak akan bosan? Kita harus mendampinginya bukan hanya dalam kondisi senang namun juga di kala susah.

Seketika saya membayangkan, kelak sosok pujaan itu berubah jadi pria rapuh yang sakit-sakitan. Apa saya mampu tetap setia menjaganya? Sementara itu, presiden tidak memiliki kewajiban untuk bersama wakilnya dalam kondisi apapun. Setidaknya jika salah satu sakit berkepanjangan, dapat segera digantikan.

Β 

Mempertimbangkan semua itu, saya kira proses pemilihan cawapres dan pendamping hidup hanya berbeda dalam letak kesulitannya. Namun keduanya sama-sama tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika mudah, tentu capres tidak membutuhkan waktu sampai satu bulan, intensif pula, untuk menimbang-nimbang tokoh yang paling tepat dalam mendampingi mereka. Demikian pula dengan pasangan hidup. Jika tidak sulit, mengapa masih ada yang melajang karena merasa belum menemukan pasangan yang tepat?Β 

Β 

Namun cukuplah tentang capres dan cawapres, toh pilihan telah ditentukan. Tepat atau tidak, kita hanya bisa menunggu usai pemilu nanti. Namun bagaimana dengan memilih pasangan hidup? Saya kira masih banyak yang tengah bergumul dengan persoalan ini. Saya jadi teringat akan seorang teman yang bingung menentukan pilihan antara tiga pria. Wow!

Β 

Seorang teman yang lain menyarankannya untuk menilai ketiga pria itu berdasarkan aspek-aspek tertentu. Sebuah cara yang sangat rasional. Tetapi praktiknya tidak semudah itu. Teman saya semakin bingung karena ia sendiri tidak dapat menentukan bobot untuk masing-masing aspek.Β 

Β 

Mengapa demikian? Proses pemilihan pasangan tidak hanya sekedar melibatkan rasionalitas namun juga persoalan rasa. Ada unsur emosionalitas yang kental di dalamnya (istilah emosi dalam psikologi mengacu kepada semua perasaan baik positif maupun negatif). Jika hanya melibatkan rasionalitas saja, kita akan jatuh dalam kebingungan. Apalagi bila pilihan yang tersedia semakin banyak, kita akan semakin bingung.

Β 

Cukup banyak yang belum menemukan pujaan hati bukan karena tidak ada pilihan, tetapi justru karena tersedia banyak pilihan. Barry Schwartz menyebutnya sebagai tirani kebebasan (the tyranny of freedom). Terlalu banyak pilihan dapat menimbulkan kelumpuhan dalam arti tidak mampu memilih karena membuka lebih banyak peluang terjadinya penyesalan.

Β 

Padahal, jika kita menyukai seseorang, kita tidak akan menilainya bagian per bagian lalu memberi pembobotan secara rasional. Kita akan melihat orang itu sebagai the whole package. Kita bisa jadi malah bingung bila ditanyakan apa yang membuat kita menyukainya. Mungkin kita dapat menjawab karena ia cantik atau pintar. Namun jika karakter yang kita pecah-pecah itu ada pada orang lain, dapatkah kita menyukainya? Belum tentu. Di sinilah emosi berperan penting untuk dapat menimbulkan ketertarikan terhadap seseorang dan tidak pada orang yang lain.

Β 

Bagaimana ketertarikan muncul? Jawabannya sangat subjektif pada masing-masing orang. Ada yang muncul begitu saja pada pandangan pertama, atau yang kita sebut sebagai love at the first sight. Padahal ini bukanlah cinta. Sampai sebatas pandangan pertama, kita sebenarnya baru sampai pada tahap ketertarikan. Umumnya perasaan semacam ini muncul karena ketertarikan akan penampilan fisik semata. Namun dapat pula terjadi karena kita bertemu dalam kondisi fisiologis tertentu yang berpotensi membangkitkan semacam ketergugahan.

Β 

Suasana hati: senang, sedih, ataupun marah, dapat memunculkan gejala fisiologis seperti jantung berdetak lebih kencang, nafas terpacu lebih cepat, dll. Bila kebetulan kita bertemu lawan jenis dalam kondisi ini, kita akan memaknai gejala-gejala ini sebagai dampak pertemuan dengan orang tersebut. Kita kemudian melabelnya sebagai ketertarikan. Elaine Walster menamainya teori cinta dua faktor, dengan faktornya adalah ketergugahan (arousal) dan label. Ketergugahan yang sebenarnya dampak fisiologis dari suasana hati sesaat sebelum pertemuan itu kita beri label jatuh cinta atau ketertarikan.

Β 

Ada pula ketertarikan yang muncul karena kedekatan fisik/jarak. Misalnya bekerja di kantor yang sama, sering pulang bersama karena jarak rumah berdekatan, dsb. Ketertarikan ini mengikuti prinsip mere exposure effect, istilah yang dipopulerkan Robert Zajonc, psikolog kelahiran Polandia. Menurutnya, pemaparan berulang terhadap stimulus yang sama dapat menimbulkan ketertarikan terhadap objek tersebut, bahkan sekalipun objek itu awalnya tidak kita sukai. Karena membutuhkan pemaparan berulang, ketertarikan ini muncul setelah sering melewatkan waktu bersama.

Β 

Ketertarikan dapat pula terjadi karena kesamaan (similarity) dalam hal minat, nilai-nilai, kepribadian, dsb. Birds of a feather really do flock together. Peribahasa ini berlaku di sini. Orang-orang yang memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu akan cenderung berkumpul bersama. Apalagi jika awalnya sudah ada ketertarikan fisik, mengetahui adanya kesamaan akan menguatkan ketertarikan yang sudah ada.

Β 

Selain itu, ketertarikan juga dapat terjadi karena perbedaan. Keunikan yang dimiliki pasangan dan tidak ada pada diri kita dapat menggugah kekaguman dan rasa saling melengkapi. The complementarity of need systems, demikian istilah psikologis untuk kondisi ini. Ada sistem kebutuhan yang terpenuhi dengan kehadiran satu sama lain.

Β 

Ada pula yang awalnya sering bertengkar karena karakter yang bertentangan, belakangan malah mengembangkan rasa saling tertarik. Prinsip mere exposure effect terjadi lagi di sini. Ketika kita jengkel pada seseorang, kita akan terus mengingat kejengkelan orang itu. Pada saat yang sama sebenarnya kita menciptakan imaji orang tersebut dalam benak kita. Semakin sering gambaran orang itu hadir dalam pikiran, semakin mungkin rasa ketertarikan itu muncul.

Β 

Sampai sejauh ini, kita bicara seputar ketertarikan, yang berada dalam wilayah perasaan atau emosi. Persoalannya untuk memilih pasangan yang tepat, kita tidak bisa hanya mengandalkan rasa. Jika kita terpaku pada perasaan, kita akan terjebak pada ilusi romantik bahwa dialah sang belahan jiwa.

Β 

Sayangnya, jika sudah memiliki ketertarikan yang sifatnya emosional, kita melupakan yang rasional. Kita lupa bahwa ketertarikan barulah permulaan. Dibutuhkan lebih dari sekedar ketertarikan untuk memilih pasangan yang tepat. Lantas bagaimanakah langkah selanjutnya agar kita tahu bahwa si dia adalah orang yang tepat? Pastikan beberapa hal berikut ini ada dalam hubungan Anda dengannya.

Β 

Pertama, kesamaan yang sesungguhnya dalam hal karakter, minat, dan nilai-nilai. Ketika kita tertarik kepada seseorang, kita mencoba untuk menjadi sama dengannya. Tanpa disadari orang sering mengiyakan kalimat lawan bicaranya. Mungkin maksudnya sekedar berespons, namun dapat disalahartikan sebagai persetujuan, yang kemudian kita asumsikan sebagai kesamaan. Jadilah kesamaan yang dimaksud bersifat asumsi belaka (assumed similarity), bukan yang sesungguhnya (actual similarity).

Β 

Padahal kesamaan dapat menjadi prediktor yang lebih baik terhadap keberhasilan sebuah hubungan dibandingkan perbedaan. The complementarity attracts but similarity attachs. Perbedaan mungkin akan memberikan sensasi lebih kuat, namun sifatnya temporer. Sedangkan kesamaan, khususnya dalam karakter dan nilai-nilai, akan menjaga hubungan itu dalam level nyaman. Penjelasannya sederhana saja, manusia lebih sulit menyikapi perbedaan dibanding kesamaan.

Β 

Kedua, kemampuan penyelesaian masalah. Sebanyak apapun kesamaan yang dimiliki, konflik dapat terjadi. Konflik bukan untuk dihindari namun diselesaikan. Jangan berpikir si dia adalah orang yang tepat bila belum terbukti dapat diajak bersama-sama menyelesaikan konflik, apalagi jika Anda dan dia belum pernah berkonflik.

Β 

Ketiga, komunikasi. Terkait dengan penyelesaian konflik, komunikasi adalah aspek penting yang perlu dimiliki dalam sebuah relasi. Bayangkan jika pasangan enggan atau sulit diajak bicara, penyelesaian konflik tentu tidak dapat ditemukan bersama. Komunikasi juga penting untuk menjaga keintiman antarpasangan dalam arti saling berbagi dengan menceritakan aktivitas, kejengkelan, maupun sukacita yang dirasakan.

Keempat, kesempatan untuk tetap menjadi diri sendiri. Pasangan yang tepat tidak akan menuntut kita untuk berubah mengikuti kemauannya. Ia tidak akan mengusik keunikan kita sebagai pribadi ataupun wilayah privasi kita. Mengutip karya Gibran, β€œBiarkan ada ruang di antara kebersamaan kalian. Biarkan angin surga berdansa di tengah kalian.”

Kelima, saling bertumbuh. Pasangan yang tepat adalah pasangan yang menyemangati kita untuk bertumbuh. Ia mampu melihat kelebihan dan kekurangan kita, menerimanya, dan bahkan memadukannya menjadi titik kuat kita. Ia tidak akan menghambat kita untuk berkarya, melainkan turut membantu kita untuk menampilkan yang terbaik yang kita mampu.

Β 

Keenam, gairah. Gairah di sini tidak hanya bersifat seksual, namun lebih mengacu kepada keinginan kuat untuk bertemu dan melakukan aktivitas bersama. Dalam hal ini, kita perlu belajar membedakan gairah dengan ketergugahan (arousal). Hati-hati jika orang tua atau teman tidak berespons positif terhadap orang yang kita sukai. Ketidaksetujuan ini dapat menimbulkan keinginan lebih besar untuk bersama, yang kemudian kita label sebagai cinta.

Β 

Ketujuh, terkait dengan yang kita bicarakan di atas, yakni persetujuan dari orang-orang terdekat. Bawalah si dia ke hadapan keluarga dan teman. Jika ia dapat menyesuaikan diri dan diterima dengan baik, satu poin telah bertambah baginya. Kita perlu mengetahui penilaian orang-orang terdekat karena ketertarikan dapat membuat orang tidak rasional. Namun ketidaksetujuan yang perlu diperhatikan adalah jika mengacu kepada karakter personal. Jika penolakan keluarga disebabkan faktor eksternal yang diskriminatif, perbedaan etnis misalnya, si dia masih layak untuk diperjuangkan.

Β 

Kedelapan, satu tujuan. Jika ketertarikan itu ada, jika tujuh aspek di atas sudah dimiliki, apalagi yang ditunggu? Tetapkanlah satu tujuan hendak dibawa kemana hubungan Anda dengannya. Karena besar kemungkinan ialah pasangan yang tepat atau soul mate Anda.

Β -Bang Icul, thx buat kesmptan n editannya πŸ˜‰ –

12 responses to “Susah Gampangnya Memilih Soul Mate”

  1. Yang bingung menentukan satu diantara 3 pria itu, temen neh bener? bukan personal experience yah… πŸ˜‰
    Salut analisa nya, detail banget buat such a complicated topic!
    Gue pernah do some iseng research di topik yg sama, but i have two different kinds of soulmates.. anyway, my conclusion, you don’t get to choose a soulmate deh kayanya s/he just turns out to be one

    Like

    1. esterlianawati Avatar
      esterlianawati

      kl gw bingung atr 5, pin. hihihi.
      gw setuju ma elo sbnrnya, soulmate gak dipilih.
      sbnrnya lbh cocok judulnya milih pasangan yg tepat kyknya ya.
      tp kurang ngepop πŸ˜€
      tq, pin.

      Like

  2. Mbak ester, belum lama sy baca tulisan ini di intisari. Eh nemu lg di blog jg. Thx ya mbak ester, saya jd dpt insight buat memilih cowo mana yg lbh pas buat sy.

    Like

    1. esterlianawati Avatar
      esterlianawati

      Hai mbak kristin,
      sng tulisan ini ada manfaatnya buat mbak πŸ™‚
      slmt ya dah ketemu ama soulmate mbak πŸ˜‰

      Like

  3. umm..nice article beb…loved it!
    yah well mmg kdg2 org itu hny melihat apa yang INGIN mereka lihat..even scr rasional sulit dimengerti org..

    kalok udh bgitu biyar kan waktu yg kan membuktikannya siy biyasanyah..krn kita pun as a fren jugak ga bisa gimana2 jugak.. hihihi…

    but ehem…buwat g sih ‘gairah’ udh all in sih teteup..wkawkakwak…

    betewe artikel luw boleh g pajang di notes FB g gak??tentu dgn mencantumkan alamt blog luw dan nama penulis tentunya…*skalian promosi*

    wakwkakwakk..luv u beb! πŸ˜€

    Like

  4. esterlianawati Avatar

    bebe, kok lo mampir ke artikel ini..emang lo msh butuh soulmate??? :p
    iye pajang aja gih, awas kl lo lupa cantumin nama gw. hihihi.
    babe, kok gak mampir ke HONEY seh πŸ˜‰ πŸ˜€

    Like

  5. Memilih Capres lebih bersifat subyektif ditambah emosional ( RAS, Agama, Suku, dan yang pasti politiknya alias Partainya ). memilih pasangan hidup seharusnya objektif, meskipun banyak yang tidak bisa mewujudkannya, alasan fisik, materi, bahkan suku dan agama masih mendominasi ( kalau kasus siti nurbaya? ntah lah, ntah ada atau gak lagi ).First sight masih mempengaruhi pilihan kita? Dalam Islam kita dibolehkan “Ta’aruf ( mengenal ) dahulu, bukan berarti luntang-lantung kesana sini berduaan ya, tapi melibatkan pihak ketiga yang bisa dipercaya (bisa ortu, saudaranya atau siapa aja yang penting bisa kita percayai ). Ta’aruf bukan untuk mengorek kekurangan calon pasangan, tapi lebih kepada mengenal karakter, meskipun masih tahapan awal…mana ada makhluk yang sempurna. semua kembali pada niat kita, ketika pilihan udah dijatuhkan, komitmen harus dijaga, apapun kekurangan dia,kita wajib menutupi atau kalau bisa memperbaiki demikian juga kekurangan kita. Ibarat sebuah pelabuhan, itulah komitmen kita, kemanapun tujuan kapal ini berlayar, menemui badai, ombak, hingga rusaknya kapal ini, kembali ke pelabuhan akan menguatkan kita untuk kembali memperbaiki kapal yang rusak bahkan yang hancur sekalipun,…tapi apa semudah itu?

    Like

    1. mksh masukannya ya, mas abie. bijak sekali bapak satu ini hihi.lama gak nongol, mas abie abis ta’aruf-an ya? πŸ˜‰ kidding..:D

      Like

      1. yang mau di taarufi jauh banget, di jakarta…ntah kapan ketemu ya..hihihii

        btw “i miss u”

        Like

  6. πŸ˜€

    Like

  7. speechless bacanya,
    hmm..
    mbak, izin copas ya. nanti tak cantumin sumbernya.
    hohooho..
    πŸ™‚

    Like

    1. silakan πŸ™‚

      Like

Leave a reply to oktarinadw Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.