Perempuan Berkalung Sorban

Beberapa hari ini saya menunggu apakah film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) akan ramai dibicarakan orang seperti Ayat-ayat Cinta (AAC). Sayangnya, tidak demikian. Tidak seperti AAC yang mampu bertahan hampir dua bulan di bioskop-bioskop, layar film PBS sudah diturunkan hanya dalam hitungan minggu. Film ini tidak berhasil menyedot jutaan penonton sebagaimana AAC. Justru hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat kita memang masih patriarkis dan belum siap dengan perubahan menuju kehidupan perempuan yang lebih baik.

Novel AAC tidak bermaksud menganjurkan ataupun mendukung poligami. Tokoh Fahri tidak pernah digambarkan mencintai Maria sebagai kekasih. Fahri hanya jatuh cinta kepada istrinya. Isu poligami bahkan tidak menjadi fokusnya. Namun dengan dramatisasi tertentu, filmnya memberi penekanan berlebih pada masalah poligami. Dengan pengolahan kisahnya sedemikian rupa, film ini terkesan mendukung poligami.  Bahkan mencoba untuk melihat lebih objektif film AAC dari berbagai sisi, malah membuat tulisan saya tentang AAC dipersepsikan tidak membela perempuan 🙂

Lain halnya dengan PBS. Tidak ada yang menyangkal bahwa film ini memang sebuah film feminis. Film ini dengan tegas menampilkan penindasan terhadap perempuan sekaligus perjuangan perempuan untuk keluar dari penindasan itu. Sangat disayangkan, film yang jauh lebih sarat makna dibanding Ayat-ayat Cinta ini tidak mendapatkan perhatian sebesar AAC. Bahkan banyak yang mengkritik film ini dari hal-hal kecil, seperti mengapa buku-buku feminis yang ditampilkan kebanyakan bukan dari Indonesia (Meski buku Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer ditampilkan berulang-ulang).

Komentar lain yang sangat menggelitik saya untuk membuat tulisan ini adalah bahwa persoalan perempuan yang diusung dalam PBS dianggap tidak lagi relevan dengan persoalan perempuan Indonesia masa kini. Menurut saya, isu yang ditampilkan dalam PBS sangat relevan hingga kini. Mungkin kita yang sudah dapat mengenyam pendidikan secara bebas, bekerja di luar rumah dan bahkan mungkin dapat memegang jabatan tertinggi, film PBS seolah mengangkat topik yang ketinggalan zaman. Tapi dalam hal ini menjadi benar pandangan feminisme multikultural, bahwa perempuan dengan latar belakang suku dan identitas sosial lainnya yang berbeda, seringkali memang tidak mengalami opresi yang sama.

Namun fakta bahwa perempuan, anak seorang kyai, mengalami perkawinan paksa (dijodohkan) sebagaimana yang dialami Annisa, tokoh utama dalam PBS, memang masih terjadi hingga kini. Hasil penelitian salah seorang alumnus Kajian Wanita UI mengenai ijbar pada perempuan di pesantren yang dilakukan kurang lebih dua tahun lalu mendukung fakta ini. Dalam acara talkshow untuk sharing hasil penelitian yang baru saja dilakukan Kajian Wanita minggu lalu, Ibu Sinta Nuriyah mengakui hal ini.

Tidak perlu kita bicara mengenai anak kyai, berapa banyak anak belasan tahun dinikahkan oleh orangtuanya karena alasan ekonomi? Di desa tempat tinggal pekerja di rumah saya, misalnya, anak berusia 13 tahun bisa dinikahkan dengan kakek berusia 70 tahun dan dijadikan istri ketiga atau keempat. Anak perempuan di desanya biasanya lebih memilih untuk merantau ke Jakarta dan Tangerang untuk menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Situasi ini dilematis memang. Di satu sisi, kita yang menerima mereka untuk bekerja sebagai PRT bisa terjerat UU Perlindungan Anak. Di sisi lain, mereka justru menganggap majikan mereka sebagai dewa penolong karena telah menghindarkan mereka dari perkawinan paksa. Dalam hal ini, saya sering bertanya-tanya dimana peran Negara untuk melindungi anak-anak ini?

Di samping itu, tanpa kita sadari, stereotip peran gender yang dialami Annisa juga masih kita alami meski mungkin dalam bentuk yang  berbeda. Apa yang kita pikirkan ketika melihat seorang ayah mau menyuapi anaknya makan, memasak, atau mencuci pakaian seperti yang dilakukan Khudori, paman sekaligus pria yang dicintai Annisa?  Kita cenderung mengatakan,  “Wah hebat ya, enaknya punya suami seperti itu, dll.” Sementara ketika perempuan yang melakukannya, semua dianggap biasa. Jika kita sudah lepas dari masalah stereotipe gender, apakah kita masih akan berpikir seperti itu?

Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Annisa masih dialami oleh puluhan ribu perempuan Indonesia. Itupun hanya yang tercatat karena korban melaporkan ke kepolisian ataupun meminta bantuan dari pusat krisis dan lembaga perlindungan lainnya. Perlu diperhatikan pula, bahwa data itu juga diperoleh dari pelaporan lembaga tersebut kepada Komnas Perempuan.  Masih banyak korban yang tidak melapor dan masih banyak lembaga yang tidak berpartisipasi aktif untuk mengirimkan datanya. Sebagai perkiraan saja, di lingkungan saya dalam satu tahun ini sudah ada 6 perempuan yang mengeluhkan kekerasan suaminya namun enggan menuntut suami atau bercerai. Jika ada sekitar 5-10 orang yang tidak melapor di setiap satuan Rukun Tetangga ataupun Rukun Warga, dapat kita prediksikan berapa banyak perempuan yang  mengalami nasib sama seperti Annisa.

Biasanya jika korban yang memproses kasusnya secara hukum, pelaku hanya dituntut atas tindakannya terhadap korban yang masih dapat dibuktikan secara fisik. Hampir tidak pernah kekerasan yang dialami korban selama bertahun-tahun perkawinannya akan dipertimbangkan. Mengapa? Karena sudah tidak ada lagi buktinya secara nyata.  Sebenarnya UU PKDRT sudah memberikan celah atas kekerasan berlapis dengan membuat beberapa jenis kekerasan, yaitu fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Sayangnya sampai sejauh ini pelaku hanya dapat ditindak atas kasus kekerasan fisik. Penelantaran ekonomi sulit dibuktikan, sebagaimana yang pernah saya dengar dari seorang penegak hukum,”Selama perempuan tidak hidup  di kolong jembatan, sulit mengangkat kasus penelantaran ekonomi ini.”

Kasus kekerasan seksual hanya dapat diangkat jika memang menimbulkan luka-luka berat seperti misalnya ada kasus seorang suami yang memasukkan kelima jarinya ke dalam vagina istrinya di Palembang beberapa waktu lalu. Masalah istri yang terpaksa melayani kebutuhan seksual suami meski ia sedang lelah atau mens, ataupun hubungan seksual tanpa foreplay, yang semuanya dialami Annisa, seringkali dianggap bukan kekerasan seksual. Bahkan perempuan pun masih banyak yang belum memahaminya sebagai bentuk pemerkosaan suami terhadap istri karena memuaskan kebutuhan seksual suami masih dianggap sebagai pemenuhan kewajiban.

Terlebih lagi, kasus kekerasan psikis yang juga sangat sulit dibuktikan dalam hukum kita yang masih menuntut bukti yang kasat mata. Bagaimana misalnya membuktikan luka hati Annisa yang harus mendengarkan suara lenguhan suaminya melakukan hubungan seksual dengan istri keduanya, atau harus menyaksikan kemesraan suami dengan istri kedua dan anaknya? Mengacu kepada dampak psikis pun juga sulit, padahal semua jenis kekerasan juga akan menghasilkan dampak psikis. Sayangnya, pemikiran awam masih menyamakan gangguan psikis sebagai sakit jiwa. Padahal seringkali dampak psikis tidak langsung berupa gangguan jiwa yang parah yang dapat kita lihat sesaat setelah kekerasan terjadi.

Trauma yang dialami Annisa menggambarkan dengan baik bagaimana KDRT menimbulkan dampak psikis berkepanjangan yang seringkali tidak diketahui orang lain, kecuali orang-orang terdekatnya. Annisa sudah menjadi seorang relawan pendamping bagi perempuan korban KDRT. Annisa sudah menikah dengan Khudori, pria yang baik dan menyayanginya. Singkatnya, Annisa sudah menjalani kehidupan yang kembali normal. Namun  ternyata kehidupan Annisa tidak senormal kelihatannya. Khususnya dalam relasi seksual dengan Khudori, Annisa masih mengalami trauma akibat kekerasan seksual yang dilakukan mantan suaminya.

Siklus KDRT juga tergambar dalam film ini. Awalnya adalah fase terbangunnya ketegangan dengan pertengkaran-pertengkaran kecil. Sampai tiba pada fase kedua saat penganiayaan terjadi. Namun ketika perempuan mulai bergerak untuk meninggalkan pelaku, itulah saat dimana pelaku biasanya melancarkan tahap ketiga, yakni meminta maaf. Tahap ini disebut Lenore Walker sebagai tahap bulan madu, ketika pelaku menampilkan perilaku yang manis dan menyenangkan terhadap korban sehingga korban berpikir ulang untuk meninggalkannya.

Cintakah Annisa pada suaminya? Tidak. Namun Annisa tetap sulit melepaskan diri dari suaminya karena berbagai alasan. Perempuan tidak boleh menggugat cerai suami, pesantren ayahnya bergantung pada dana yang dikucurkan keluarga suaminya, dan sebagainya. Jika Annisa yang tidak mencintai suaminya pun sulit untuk melepaskan diri karena berbagai faktor, dapat kita bayangkan bagaimana sulitnya seorang perempuan korban KDRT yang masih mencintai suaminya untuk dapat melakukannya.

Faktor anak sebagai salah satu hal yang menjadi pertimbangan korban KDRT untuk meninggalkan pelaku juga tampil dalam film ini. Bagi perempuan korban yang sudah memiliki anak, seperti seorang perempuan yang didampingi Annisa ataupun istri kedua dari mantan suaminya misalnya, anak seringkali menjadi pengikat yang membuat perempuan mempertimbangkan berulang kali untuk meninggalkan pelaku. Meskipun bukan berarti tidak adanya anak dapat mempermudah korban untuk melepaskan diri dari pelaku. Dalam novel karya Khaled Hosseini berjudul A Thousand Splendid Suns misalnya, tokoh utamanya meski tidak memiliki anak, sejumlah faktor tetap membuatnya bertahan dalam relasi perkawinan penuh kekerasan.

Kemungkinan seorang korban KDRT membunuh suaminya juga hadir dalam film ini. Upaya pembelaan diri yang dilakukan korban untuk menyelamatkan dirinya sendiri seringkali mendudukkan korban di kursi pesakitan sebagai pelaku. Saya kira film ini baik untuk ditonton oleh para aparat penegak hukum untuk memahami terlebih dahulu rentetan kekerasan yang dialami korban yang mendorongnya untuk membela diri, yang membuatnya melakukan tindakan penyelamatan diri yang seringkali dipersepsikan juga sebagai tindak kekerasan terhadap suami.

Perempuan yang membunuh suaminya seringkali dihujani dengan keheranan seperti kalimat,”Gila, perempuan membunuh.” (Seolah pria berhak membunuh, dan perempuan tidak). Namun bila kita mau menelusuri lebih lanjut, tindakan ‘kekerasan’ yang dilakukan korban sesungguhnya menandakan betapa berat penderitaan yang dialaminya selama ini.

Dalam film PBS ini, juga digambarkan bahwa dalam masyarakat patriarkis bukan hanya pria menindas perempuan, tetapi perempuan juga seringkali menyalahkan perempuan. Contohnya ketika Annisa hendak meminta cerai karena suaminya mau menikah lagi, mertua perempuannya malah menyalahkan Annisa. Karena Annisa tidak dapat memuaskan suaminyalah, suami Annisa berhak mencari kepuasan itu dari perempuan lain. Atau ketika seorang ibu membicarakan ‘keliaran’ Annisa di pasar. Annisa sendiri digambarkan sempat melakukan hal ini meski kemudian ia ber-istighfar. Contohnya, Annisa menghardik madunya ketika ia tersinggung oleh perkataannya bahwa ia tidak memiliki anak.

Apa yang dilakukan Annisa adalah hal yang sering terjadi antara istri pertama dan kedua (atau istri-istri selanjutnya).  Rasa sakit hati karena kehadiran perempuan lain meski ia sendiri mungkin tidak mencintai suaminya seringkali mendorong perempuan untuk menganggap sesama perempuan sebagai saingan. Ketika seorang pria berselingkuh, istri hampir tidak pernah memaki suaminya. Banyak perempuan  melakukan displacement, kemarahannya dilampiaskan kepada ‘saingan’nya. Saling menjambak, memaki, mendorong,  menteror, dan tindak kekerasan lainnya yang dilakukan sesama perempuan bukan hal yang jarang ditemui ketika menemukan suaminya memiliki perempuan lain. Istri pertama berpikir bahwa perempuan lain itu yang menggoda suaminya, padahal banyak pria menyembunyikan status perkawinannya ketika mulai mendekati perempuan lain. Perempuan kedua mencemburui istri yang sah, tanpa berpikir bagaimana jika ia yang menjadi istri sah itu dan suaminya memiliki perempuan lain.  Alih-alih menyalahkan laki-laki, perempuan menyalahkan sesama perempuan. Istighfar yang dilakukan Annisa mengajarkan kepada kita agar sesama perempuan dapat melihat dengan penuh kasih untuk tidak saling menyalahkan, dan akan jauh lebih baik jika melihat sumber permasalahannya.

Dalam film PBS, digambarkan pula hubungan suami istri yang setara. Stereotipe peran gender tidak digambarkan secara kaku. Annisa dan Khudori sama-sama melakukan tugas-tugas domestik yang sering dianggap sebagai kewajiban istri. Annisa dapat menyatakan keinginannya untuk bercinta dengan suaminya dengan kata-kata dan sentuhan yang manis, tanpa rasa canggung namun juga tidak vulgar. Pertanyaan Khudori mengenai kemungkinan Annisa akan meninggalkannya jika Khudori yang mandul, pasti akan mengena langsung kepada para suami ataupun mertua yang mempersalahkan seorang istri yang tidak dapat memiliki anak dari rahimnya sendiri.

Film PBS juga meruntuhkan sejumlah pandangan negatif terhadap feminisme. Film ini tidak memberi penekanan berlebih kepada sosok agung seorang Khudori yang notabene adalah laki-laki. Sebagaimana yang dikatakan Khudori bahwa Annisa dapat hidup tanpa dirinya, film ini hendak menyatakan bahwa tanpa pria, perempuan dapat hidup bahagia. Namun kebahagiaan Annisa selama hidup bersama Khudori juga menegaskan bahwa pria pun tidak hanya menjadi sumber masalah bagi perempuan. Dengan pria, perempuan pun dapat berbahagia. Dalam hal ini, pandangan bahwa seorang feminis anti terhadap pria seketika berhasil dipatahkan.

Perlu diperhatikan pula bahwa perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan bukan berarti perempuan ingin menjadi seperti pria. Perempuan hanya ingin dihargai dan diberikan hak-haknya sebagai manusia. Sorban yang dikenakan Annisa hanyalah sebuah simbol bahwa perempuan dapat maju, berkarya, dan mandiri seperti pria. Namun feminisme tidak anti pria, dan tidak pula ingin mengalahkan pria. Karena feminisme hadir untuk menghilangkan penindasan bukan menghadirkan penindasan baru dalam bentuk yang berlawanan.

Pandangan bahwa feminisme sebagai aliran sesat  juga ditentang dengan sendirinya oleh kehidupan Annisa dan Khudori yang tetap berkiblat pada ajaran Islam. Amina Wadud, Fatima Mernissi, atau Asma Barlas sendiri tidak serta merta menjadi perempuan yang kehilangan akhlaknya dengan menjadi feminis. Melihat Islam sebagai agama yang lebih ramah terhadap perempuan untuk kesetaraan relasi sesama manusia bukanlah sebuah kesesatan. Selain itu, sosok Khudori dan ditonjolkannya Bumi Manusia karya seorang pria bernama Pramudya Ananta Toer menunjukkan bahwa pria pun dapat menjadi seorang feminis.

Tidak perlu menjadi perempuan untuk menjadi seorang feminis. Kadang ada hal tertentu yang tidak perlu dialami sendiri untuk dapat merasakannya. Tidak perlu menjadi perempuan yang dilacurkan untuk memahami penderitaan mereka. Tidak perlu menjadi korban KDRT untuk dapat merasakan kesengsaraan mereka. Karena kita mengenal istilah apriori, dan terlebih dari itu, karena manusia memiliki salah satu keluhuran insani yang disebut sebagai empati.  

Akhir kata, dapatkah perempuan Indonesia meraih kebebasannya sebagaimana yang didengungkan oleh Annisa dalam film PBS? Idealnya, masyarakat seharusnya menciptakan lingkungan kondusif bagi perempuan untuk memperoleh kebebasan. Namun seperti kata Annisa, seorang Pramudya dapat menghasilkan karya besar di sebuah penjara yang jelas merupakan sebuah tempat dimana manusia tidak memiliki kebebasan. Jadi jika Negara tidak dapat membe

6 responses to “Perempuan Berkalung Sorban”

  1. Entah bagus atau tidak, film ini telah membuat ulama dan pesantren merasa di hina oleh kritik yang tersampaikan melalui cerita film. Kontraversi yang akan meningkatkan poularitas film itu sendiri…

    Like

  2. Mbak Ester,

    ide film Perempuan Berkalung Sorban bagus, tepat seperti yang mbak Ester tulis, yaitu dominasi tafsir patriarki dalam Islam, dan dunia pesantren yang jadi lokus representasinya. Tapi secara sinematografi film ini buruk. Memang, bisa dipahami, perdebatan ayat-ayat al quran bisa bikin berang banyak orang kalau disampaikan di film ini. Tapi, justru karenanya, sutradara harus canggih bermain simbol. Ia kurang dalam hal ini. Hanya dibagian akhir ada permainan simbol yang menarik, yaitu ketika sorban (penutup kepala pria muslim, bisa jadi juga simbol patriarki) yang terkalungkan di pundak-leher Anissa saat ia berkuda dengan anaknya ke laut (dalam sajak-sajak Sutan Takdir Alisyahbana … laut adalah representasi kebebasan) jatuh tertiup angin, dan Anissa tak memungutnya…. Permainan simbol semacam ini harus banyak dalam film semacam ini.. Jadi kupastikan secara sinematografi film ini buruk…

    Omong-omong …. bagaimana kalau ada judul film atau karya sastra “Pria Berkalung Jilbab” … apa yang terbayang? Kesucian dan kesetiaan pria pada istrinya? ataukah pria yang nafsu … seperti dalam kasus-kasus pria yang suka mengkoleksi pakaian dalam wanita? Menarik untuk disandingkan dengan “Perempuan Berkalung Sorban”

    Donny Danardono

    Like

  3. DD, utk komentar di paragraf pertama, aku pengen bilang: sering-seringlah mampir ke blog ini utk ks pembelajaran baru buatku n semua yg kebetulan mampir ke sini..
    Tp utk bagian terakhir yang ‘omong-omong’nya itu, aduh please deh.. emangnya engga ada kualitas perempuan yg jauh lbh baik buat disimbolkan dengan jilbab, agar laki2 jg menjadi lbh terhormat ketika mengenakannya, dan judulnya bisa bnr2 disandingkan dgn PBS 😉
    Eniwei, tengkyu ya, buat orgasme intelektualnya 🙂

    Like

  4. Menurut gw film PBS cara berkomunikasinya kurang bagus, “lebay” dan sedikit “dangdut”
    Komunikasi di film terjadi satu arah, mo pake bahasa yang mana itu juga penting.

    Like

  5. latifa noviana Avatar

    spertinya aq tlat bngt baca tu;isan ini..hehe

    tapi aq salut karena penulis dapat memandang isi film PBS dalam berbagai sisi,, salut wat penulis!

    Like

    1. Ester Lianawati Avatar
      Ester Lianawati

      bnyk trm ksh dan slm kenal ya 🙂

      Like

Leave a reply to Donny Danardono Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.