Perempuan Jawa, Konco Wingking atau Sigaraning Nyawa?

Rekan-rekan yang terkasih, jika kalian tertarik dengan teori-teori psikologi perempuan dan gender, barangkali buku Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan.Psikologi Feminis Untuk Meretas Patriarki dapat bermanfaat. Buku ini baru saja diterbitkan oleh EA Books akhir Oktober 2020 lalu. Silakan klik link (judul buku) tersebut ya, untuk mendapatkan sedikit gambaran tentang buku tsb. Terima kasih.

Jika berkenan, silakan hadiri pula acara bedah buku ini hari Minggu, 9 Mei 2021 :

Bedah buku dengan candu buku

Masyarakat Indonesia dikenal dengan sistemnya yang patriarkis meskipun sebenarnya terdapat variasi corak patriarki antar budaya. Salah satu masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa. Menurut Indrawati (2002), masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto (2004) yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa.

Indrawati menambahkan bahwa perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Hal ini senada dengan pendapat Widyastuti (2005) yang mengutip Kusujiarti, perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.

Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani ditata (berani ditata). Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Selain itu istilah putra mahkota (bukan putri mahkota), kawin paksa, dan babakan pingitan yang diberlakukan kepada perempuan yang akan menikah, ditangkap Widyastuti (2005) sebagai persoalan gender yang dihadapi perempuan Jawa.

Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan, istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri (Handayani dan Novianto, 2004).

Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.

Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.

Namun demikian, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa sistem bilateral, dan bukan paternalistik, yang justru tampak dalam praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Jawa. Sebagian orang menganggap perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi mengingat sumbangannya yang umumnya cukup besar dalam ekonomi keluarga yang dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif (Widyastuti, 2005). Handayani & Novianto (2004) juga menyebutkan fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi kontrol perempuan Jawa menjadi lebih kuat.

Selain itu adanya konsep istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekedar konco wingking juga memberikan gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter terhadap perempuan Jawa (Handayani & Novianto, 2004). Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Sama seperti sutradara yang bekerja di belakang layar dan tidak pernah terlihat dalam filmnya tetapi dapat menentukan jalannya film.

Selain itu Handayani & Novianto juga berpendapat bahwa perempuan Jawa bukannya tidak memiliki otoritas pribadi. Hanya saja ia harus mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa mengacaukan harmoni dengan keluar dari tatanan budaya. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami yang akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, perempuan Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya.

Selain itu, Indrawati (2002) berpendapat saat ini memang telah terjadi pergeseran kedudukan dan relasi gender masyarakat Jawa. Menurutnya, modernisasi, emansipasi perempuan, dan masuknya pengaruh budaya Barat, telah menggeser pola relasi gender mengarah kepada persamaan derajat dan kedudukan. Sedikit banyak diperkirakan pergeseran pola relasi gender ini dapat pula mempengaruhi kehidupan perkawinan masyarakat Jawa meskipun belum ada penelitian empiris mengenai hal ini.

51 responses to “Perempuan Jawa, Konco Wingking atau Sigaraning Nyawa?”

  1. Kalau saya boleh memberi komen ( kebetulan saya orang Jogja, dan kedua ortu saya juga Jawa ), gak ada yang salah dengan pemberian istilah “konco wingking” ataupun “sigaraning nyowo” dengan penjelasan yang telah diberikan oleh mbak diatas. Saya bangga dengan wanita jawa yang berpendirian siap “wani di tata”, sepanjang sang suami tetap memberikan haknya istri. Bukan hak2 yang ditonjolkan kaum moderat. Saya bangga dengan ketaatan Ibu saya kepada Bapak saya. Wah…kagum saya sama mbak Esther…wawasan luas banget, salut deh.

    Like

  2. Bintang Bangsaku Avatar
    Bintang Bangsaku

    Sudah pernah baca “Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa” atau “Perempuan di titik nol” ?
    Saya nggak pernah selesai membacanya karena nggak tega.

    Btw, beberapa buku pelajaran yang saya peroleh dari luar (barat) juga masih banyak bias gender-nya koq.

    salam, depe

    Like

  3. esterlianawati Avatar

    Makasih ya Mas Abie buat koment-nya :). Tdnya sy smpt mikir kl wnt Jawa itu semata-mata cuma pasif, tp tnyt stlh baca buku Kuasa Wanita Jawa, justru dlm kepasifannya itu ada power yg gak disadari… Salut utk perempuan Jawa, tmsk ibunya Mas Abie 😉

    Like

  4. esterlianawati Avatar

    Salam kenal, Depe. Prempuan di titik nol dah kubaca. Kl Pengakuan Pariyem malah blum baca, gak nemu lg bukunya. Kl boleh dipinjemin, mau bgt, biar sy yg slsiin bacanya hehe.

    Like

  5. met hari Kartini mbak, kayaknya mbak termasuk kategori Kartini juga.

    Like

  6. esterlianawati Avatar

    Mksh ya mas abie 😉

    Like

  7. esterlianawati Avatar

    Salam, Mbak Yulia. Kl tidak salah, tulisannya Handayani & Novianto itu didasarkan pada wawancaranya dengan perempuan2 Jawa. Jd lebih menekankan penghayatan si perempuan Jawa itu sendiri, subjek penelitian mereka. Kl menurutku lebih mengacu ke posfeminis dan eksistensialis ya, jd tergantung bagaimana mereka memaknai kondisinya itu sendiri. Sekalipun ditempatkan sebagai objek tetapi mereka sendiri ‘merasa’ mengendalikan. Kl aku setuju saja dengan pendapat mereka. Cuma jujur saja, kalau sekedar persepsi bahwa kita mengendalikan memang sepertinya tidak cukup untuk memperbaiki kondisi perempuan karena tidak mengubah struktur patriarkis nya itu sendiri.
    Makasih masukannya ya Mbak, jadi dapat tmbhan informasi tentang kondisi yang dialami perempuan Jawa lainnya selain dr Handayani & Novianto itu 😉

    Like

  8. Salam , aku yulia.
    Mbak, aku tidak setuju dengan pendapat yang mbak kutip tentang “…..fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi kontrol perempuan Jawa menjadi lebih kuat….”
    Pada kenyataanya dalam rumah tangga pun, (pengalaman ku bergaul dengan orang jawa-aku bukan orang jawa) mereka diberikan uang untuk belanja, uang yang diberikan ini belum tentu sebagai posisi kontrol perempuan ataupun untuk manager rumah tangga, uang yang diberikan hanyalah untuk keperluan dapur dan lagi-lagi perempuan memang harus mengerjakan urusan dapur. Managemn rumah tangga sama sekali tidak, karena banyak laki2 jawa yang kutemui tidak ubahnya dengan penganut patrairkhi lainnya, mereka tetap berpengaruh dalam rumah tangga, bahkan dalam kasus mereka tidak bekerjapun, mereka tetap mampu menundukkan sang istri.
    perempuan not the others

    Like

  9. yap mbk, aku setuju bahwa itu belum mampu bahkan tak kan mampu untuk mengubah struktur patriarkhis…

    Like

  10. restlessangel Avatar

    halo mbak….’lam kenal sebelumnya. br pertama mampir, tp lgsg tcengang. postingannya dahsyat, hehehe….

    soal ini, aku kok jd inget pengalamanku bbrp bulan lalu. diajak ma pacar, menghadiri nikahan tetangga. kebtlan rumah dia di desa (walo kl desa juga benernya udah maju, jgn bayangin desa tertinggal gitu).

    acara ya berlangsung biasa, standing party, ada hiburan campur sari. tp heran, karena temen2 tetangganya pacar, kok yg dateng lakina semua. jd aku ga ada temen ngobrol.

    eh tahu keherananku, salah seorang mrk cerita, bhw di tmp mrk, emang adatnya beda dg dikota.jd kaum istri ga datang pas pesta nikahannya, mrk justru dtg pas seblm hari H, smb bawa buah tangan, sdkt bantu2. ga ilok alias gak pantes kl istri datang pas hari H, pas pestanya.

    ha ???? kontan aku melongo. sama2 di jogja, tp kok beda bgt dan baru tau ada adat kayak gt.
    waaaahhh….makin beratlah aku utk tinggal di situ….. :mrgreen:

    Like

  11. esterlianawati Avatar
    esterlianawati

    Lam kenal jg Mbak.. Hehe mksh pujiannya. Ditunggu jg kritik n sarannya 😉

    Wah, beragam sekale budaya kita ya, sama2 Jogya tp dah beda kulturnya jg. Trus gmn rasanya jd bidadari di antara pria2 itu hehe? 😀

    Like

  12. […] semakin kalian siksa diri dengan kalimat. klik wikipedia perempuan jawa, wikipedia batik jawa, klik perempuan jawa, […]

    Like

  13. halo mbak…
    aku menemukan blogmu secara g sengaja, saat ini aku dalam keadaan bingung, lagi menyusun tesis ttg perempuan jawa dalam perkawinan, would u help me…terutama nyari subjek penelitiannya

    Like

  14. Hai Rahma, senang kl bisa membantu. Km bs ks tau kriteria subjek km spt apa, email aja ke esterlianawati@yahoo.com. Mgkn nanti bs sy bantu carikan subjeknya.

    Like

  15. Mba aku mau tanya,
    kenapa dadang2 orang jawa selalu berpikir negatif dengan wanita sunda. Karena keluarga dari cowoku mempermasalahkan hal itu. Mau tanya, point penting apa yang bener2 harus saya pelajari mengenai kebudayaan jawa agar saya bisa masuk dan diterima oleh keluarga mereka, agar keluarga mereka tidak berpikir stereotip mengenai wanita sunda.
    Terima kasih..

    Like

  16. Hai Mbak Lia,

    Aku bisa rasain gak enaknya kondisi Mbak Lia skrg, ya dipandang negatif ama pihak keluarga cowo ‘hanya’ krn mslh kesukuan ..

    Memang kadang prasangka-prasangka negatif sering muncul krn mslh perbedaan suku, agama, dll. Kecenderungannya org sering menganggap kelompoknya yg paling okay, jd kelompok laen dianggap lbh rendah/buruk, dll.

    Terus terang aku kurang paham budaya Jawa. Dari keluargaku, hny satu nenekku yang asli Jawa. Tp dlm kaitannya dgn kesukuan, beliau pernah bilang, maaf sebelumnya, bahwa org Sunda sering dipandang materialistis. Tentunya ini sekedar stereotip. Tidak semua org Jawa akan berpikir spt itu ttg org Sunda. Dan bukan berarti org Sunda itu materialistis. Krn stereotip pada umumnya memang menyamakan seseorang berdasarkan kelompoknya, pdhl belum tentu seperti itu. Sygnya otak kita seringkali berpikir pake stereotip dlm menilai org krn memang stereotip mempermudah proses berpikir. Jadilah Batak diidentikkan dgn keras, Cina dengan pelit, dst.

    Sy tdk tahu bgmn pandangan keluarga cowo Mbak Lia itu ttg org Sunda. Mgkn ada baiknya Mbak cari tau lewat pacar Mbak. Atau tanyakan scr lebih spesifik apa yg tdk mereka sukai dr Mbak Lia. Bisa jadi mgkn sebenarnya tdk terkait dgn masalah suku. Tp apapun itu, dgn masukan itu Mbak Lia jg bisa lbh gampang menampilkan image positif yg mereka harapkan, asalkan tetap jd diri Mbak Lia sendiri tentunya.

    Dlm kaitannya dgn relasi, nenek sy sering mengajarkan bgmn caranya agar sy jd perempuan yg lembut, patuh, dan melayani suami. Kalau tidak suka, jgn katakan langsung tdk suka. Jgn terlalu menunjukkan bhw kita lebih tahu dr dia. Kdg2 perlu menyimpan apa yg kita ketahui spy dia gak merasa terancam. Dll. Thd orang tua jg harus menunjukkan sikap hormat, dsb. Jgn tertawa keras2 di hadapan mereka. Dll. Kl diliat-liat sih, mirip2 ama pendapat para penulis di atas yg ku-comot tulisannya itu 😀 Dan terus terang gak gampang melakukannya 😉

    Tp mnrt sy, bukan hanya orgtua Jawa yg mengharapkan calon menantunya tampil ‘baik’ dan ‘menyenangkan’ spt itu. Lagipula tiap keluarga sebenarnya punya nilai yg berbeda-beda, sklpun mgkn dr suku yang sama. Jadi saya kira akan lbh baik kl Mbak mencari tau dulu nilai-nilai, kebiasaan2, dll, dalam keluarga cowo Mbak, apa yg mereka harapkan dr seorang calon menantu, dsb. Krn kadang memang utk hal-hal kecil saja, ortu suka merasa kurang sreg kl ada sikap/tindakan calon menantu yg berbeda dgn kebiasaan keluarga mereka.

    Buat Taufik, Mas Donny, Mas Abie, Mbak Mamik, dll yg lbh mengerti budaya Jawa, maukah kalian bantu kasi masukan buat Mbak Lia ini?

    Tengkyu sblmnya ya..

    Like

  17. Donny Danardono Avatar

    Buat Lia,

    keluhan anda tentang pandangan stereotype orang jawa terhadap sunda akan lebih baik bila dituliskan PERNYATAAN APA DARI KELUARGA COWOK ANDA TENTANG WANITA SUNDA.

    Tapi memang secara historis suku jawa dan sunda pernah konflik dalam PERANG BUBAT, yaitu ketika Gajahmada (Kerajaan Majapahit) berusaha menaklukkan Nusantara, termasuk kerajaan Siliwangi.

    Ceritanya begini: Dalam perang itu, di daerah Bubat, Gajahmada menawarkan perdamaian pada Prabu Siliwangi. Tapi di Bubat itu ternyata Gajahmada membantai prajurit-prajurit Siliwingi yang mau damai. Sejak itu sikap permusuhan dan dendam pada etnis Jawa tumbuh di etnis Sunda, sampai sekarang. Contoh anda tak akan menemukan JL. GAJAHMADA, Jl. HAYAM WURUK, JL. MAJAPAHIT, dll DI BANDUNG dan SEMUA KOTA DI JAWA BARAT (Kecuali DKI).

    Tapi belum tentu keluarga cowok jawamu berpikiran anti sunda seperti itu. Jadi tolong tuliskan dulu APA PERNYATAAN MEREKA SECARA SPECIFIK.

    Salam hangat,
    Donny Danardono (yang sangat kenal dan dikenal oleh Ester Lianawati)

    Like

  18. Kalo mau menengok sejarah mungkin bisa dikaitkan…
    mungkin pernah membaca perang bubat antara Majapahit dan kerajaan sunda dimana diawali dari Hayam Wuruk yang berniat mempersunting Dyah pitaloka dari kerajaan sunda yang akhirnya terjadi peperanga (perang Bubat)
    Akibat peristiwa itudi kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan ‘esti larangan ti kaluaran’, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

    Hihi…menarik nih mba Lia…
    Kenapa gw ga boleh pacaran ama orang sunda? Gw pernah menanyakan hal itu ke nyokap. Jawabannya: materialistis dan kurang sayang ama keluarga (mertua)/kurang mengakui.
    Menurut gw poin pentingnya ya…tunjukin kalo Mba ngga materialistis, dan tunjukin kalo mba tidak hanya menyayangi calon suami mba tapi menyayangi keluarganya…hehe
    …sering-seringlah berinteraksi…dengan keluarganya
    stereotip itu sangat-sangat kuat…di generasi ibu kita yah…kalopun anak2nya udah berpikiran terbuka tapi tetep kita butuh restu orang tua…

    Like

  19. Hai Mbak Lia…
    Saya merasa bertambah pengetahuan saya tentang siapa dan apa itu perempuan jawa melalui blog yang Mbak Lia tulis.

    Kebetulan saya adalah mahasiswi yang sedang melakukan penelitian terhadap ‘perempuan jawa’ itu sendiri dalam sebuah film. Yang ingin saya tanyakan, apakah boleh saya mengetahui judul buku-buku yang Mbak Lia kutip dalam blog ini? Yang ditulis oleh Indrawati (2002), Handayani dan Novianto (2004), dan Widyastuti (2005).

    Saya sangat mengharapkan bantuannya Mbak. Dan sebelumnya, terima kasih buat perhatianny…
    Salam kenal…

    Alexandra Adyta

    Like

  20. Hai Alexandra,

    Salam kenal jg ya.

    Tulisan ini diambil dr :

    Widyastuti, S.H. (2005). Mengenal feminisme Jawa (Catatan awal dari beberapa karya sastra). Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa 1.

    Handayani, C.S & Novianto, A. (2004). Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: LkiS.

    Indrawati, Y. (2006). Pergeseran konsep gender pada rumah tradisional Jawa Joglo. dari http://www.fsrd.itb.ac.id/?page_id=107.

    Ok, good luck ya..

    Like

  21. Halo lagi…
    Perempuan jawa sebenarnya memiliki belenggu kuat, namun karena pendidikan dan akses yang cukup baik terhadap informasi dan perubahan perkembangan pemikiran maka kekakuan adat mulai dapat terbongkar. Setidaknya sudah banyak pemimpin perempuan asli jawa…
    Hanya beda lho antara memberikan kontribusi kuat dengan kesetaraan, bukankah itu semakin menjelaskan ketidakadilan ketika seorang perempuan jawa yang berhasil menopang kehidupan rumah tangganya namun tetap menjadikan laki-laki sebagai pemimpin? Dan “pengabdian total sebagai strategi diplomasi” merupakan nilai budaya itu sendiri, seolah-olah itulah nilai lebih perempuan ketika mengabdi kepada suami & keluarga. Bukankah itu merupakan ciri khas patriarkhis, dan cirikhas jawa juga yang selalu berusaha menghaluskan segala sesuatu demi keharmonisan. Keharmonisan yang menguntungkan penguasa tentunya hehe…jadi ingat pak Harto
    Ketika seorang perempuan jawa sebenarnya telah memiliki peran penting dan utama, kenapa hal tersebut harus menjadi informal…dan suaminya walau bodoh tetap menjadi pemimpin formal (meminjam istilahnya Handayani dan Noviyanto). Artinya sebagai seorang pemimpin, suami memiliki kekuasaan untuk melakukan hal-hal yang irasional, terutama bila ia merasa terpojok dengan istrinya, dan masyarakat menerima, karena dia pemimpin. Saya kira anda juga ndak mau diposisikan semacam itu yah mbak Ester…
    Tapi yang membuat runyam, sikap lembut dan keibuan perempuan jawa menciptakan persepsi lemah, tidak berdaya dan konco wingking itu tadi…
    Salam ya mbak Ester, tulisannya menarik2

    Like

  22. Halo jg,
    makasih ya. Koment2nya jg menarik, sy jd merasa dpt satu kesimpulan, yg pd akhirnya menjawab kebingungan sy sblmnya utk nyatuin atr ketdksetujuan n persetujuan sy sndr thd isi buku Kuasa Wanita Jawa-nya Handayani n Novianto itu. Thx a lot 😉

    Like

  23. Boleh. Salam kenal ya 😉

    Like

  24. Budaya dan adat biasanya bergerak dinamis seiring perubahan pola hidup masyarakat. Tapi entah mengapa falsafah hidup sering dibuat statis. Sebab apa yg disebut adiluhung biasanya mengacu yang telah lalu. Generasi sekarang dan besok cuma bisa ngekor untuk dimaknai sebagai penerus dan pelestari yang berbudi. Tak coba kritis, bukankah nilai-nilai itu semua berasal dari bentuk masyarakat agrikultural baheula yang seharusnya mengalami penyesuaian dengan kebutuhan masa kini? Saya yakin ini harus diperbaiki dan tidak serta merta harus dimatikan sebagai bentuk tanggungjawab generasi yang arif dan kritis.
    🙂

    Like

  25. saya sependapat mba lia, bahwa penyebutan perempuan sebagai konco wingking, dan sigaran nyowo memang tidak sepenuhnya buruk seperti penafsiran yang ada pada masa sekarang. kalo diperkenankan berargumen, bentuk rumah pada waktu dulu tidak seperti pada masa sekarang. di jawa rumah tradisional, dapur letaknya memang terpisak dari rumah induk. dapur terletak dibelakang rumah dan seluruh bahan makan dan makanan tercipta dari sana. perempuan disebut konco wingking karena dalam falsafah jawa, perempuan dianggap sebagai rekan (garwa) (sigaraning nyawa/sisihan) dimana letak perempuan tidak dibelakang tapi, disamping. jadi jika perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki itu pendapat yang keliru. karena mamng perempuan punya peran yang berbedan dng lelaki. dalam sebuah buku pernah di tuliskan ada seorang suami yang mulai merasakan pekerjaan yang dirasakannya melelahkan. ia menggugat istrinya dengan berkata:” lebih enak istriku dirumah kerjaannya cuma ongkang-ongkang, sedangkan aku disini sibuk bekerja banting tulang. dan iapun berkata aku ingin menjadi seperti istriku saja. sepulang dirumah ia besikap ketus p[ada istri kemudian. pada pagi harinya ia terbangun dan ia tekaget-kaget melihat dirinya dalam tubuh istrinya. di pagi hari ia harus menyiapkan makan, menyiapkan anaknya, mencuci, menyetrika dlsb ia merasa lelah dan berkata…. Tuhan ternya pekerjaan istriku lebih berat dari pekerjaanku.”

    jadi tidak perlu menyalahkan peran masing2 dan menganggap diri lebih rendah atau tinggi dari orang lain tapi, bagaimana tercipta keselarasan dalam keluarga

    maturnuwun

    Like

  26. makasih mbak ernie buat masukannya 🙂

    Like

  27. Willy Suriano Hariono Avatar
    Willy Suriano Hariono

    ya mbak ester, salam kenal…niy willy niy dr malaysia….kayaknya aku suka deh ama fakta2 d atas karna aku juga bingung emangnya kenapa sih masih wujud stereotip2 spt itu…maksudku pandangan yg terlalu mengikut-ikut…..kalo buruk terus buruk, kalo yang standar terus dipandang standar…….aku itu gak racist walaupun aku orang jawa yang smmgnya lahir d malaysia…kita manusia modern udah terbuka menerima siapa ja yang jadi tmen hidup, masalah suku bukan yg utama, karna ayahku yang berdarah jawa tidak mengajarku arti kesukuan,….yg penting hatinya baik…..mbak kalo mau liat foto aku…..di facebook ama friendster ya….salam kasih dr malaysia

    Like

    1. Hai willy, salam kenal jg.
      thx ya dah mampir n sharing di blogku.
      aku setuju dg pendapatmu itu.
      suku boleh saja jd identitas, tp bukan berarti memandang rendah atau negatif thd suku lain.
      nanti kuliat fotomu ya;)
      slam kasih jg dr indonesia 🙂

      Like

  28. willy suriano hariono Avatar
    willy suriano hariono

    makasih banget ya mbak, aku itu hargai bgt keikhlasan mbak…jd sekarang aku mau kongsi bersama..bahawa sudah menjadi satu hal yg normal bhw setiap kaum ciptaan tuhan itu memiliki identitas tersendiri…jawa dgn jawanya, sunda dgn sundanya, batak dgn bataknya…..etc….Tuhan sengaja menciptakan kita untuk mengenali satu sama lain, nah, dari situ kita bisa mempelajari budaya setiap kaum atau suku di dunia, kita bisa belajar sensitivitas @ sensitivity setiap suku, kelemahan atau kekuatan setiap suku tapi bukan dgn tujuan menilai langsung atau menghukum….seharusnya kita belajar gimana untuk menangani permasalahan sesuatu suku, cara2 untuk mengambil hati mereka agar kita bisa mewarnai sesuatuperhubungan agar lebih harmonis….nah gitu dong!!! makasih banget!!!!!!!!

    Like

    1. hai willy, aku setuju sama kamu. keragaman itu ada utk memperkaya kita, bukan sbg alat utk saling merendahkan satu sama lain.
      thx ya 🙂

      Like

    1. trm ksh 🙂

      Like

  29. ayoe permatasary sutomo Avatar
    ayoe permatasary sutomo

    hai mbak..
    masih inget aku gak? mahasiswa mbak kelas bakat prestasi & psikologi belajar di UnTar..
    nice post mbak.., eniwey sebagai perempuan jawa dimana keluarga saya masih sangat jawa, dari kecil sudah ditanamkan kalo perempuan jawa adalah GarWa (sigaraning nyawa) meskipun terlihat sebagai seorang konco wingking.. hemm, jadi istilahnya secara tampilan luar perempuan jawa adalah konco wingking yang harus manut, sangat hormat, dan menjunjung tinggi pasangannya..
    tapi, dibalik sikap lembut, manut, menghormati dan menjunjung tinggi pasangan, perempuan sesungguhnya punya kekuatan yang luar biasa hebat..
    saya jadi ingat penggalan pidato pak habibi dalam penobatan honoris causa beliau beberapa minggu lalu..
    kalo gak salah beliau bilang kalo keberhasilan yangg beliau raih adalah berkat dampingan dari 2 wanita yaitu ibu & istrinya..
    selain itu, sepengamatan saya jika laki2 ditinggal meninggal oleh pasangannya,maka laki2 akan cenderung lebih cepat untuk memutuskan menikah lagi jika dibandingkan perempuan yang ditinggal meninggal pasangannya..
    kalau menurut saya salah satu faktor pendukung keputusan tersebut adalah hilangnya sosok “manager” yang kadang hanya sekedar diakui sebagai konco wingking saja.
    eniwey, i’ve just saw u at Jak TV.., u look so gorgeous mbak 🙂

    Like

    1. Dear Ayoe, aku inget km dong. Angkatan km tak terlupakan hehe.
      Mksh dah sharing di sini ya, bs jd masukan buatku en yg baca blog ini jg.
      Tp ttg laki-laki yg lbh cpt memutuskan menikah lg ketimbang perempuan jika pasangannya meninggal,
      jika kita lihat dr sisi lain sptnya bukan kekuatan perempuan, Yoe.
      Setauku ckp bnyk perempuan yg bertahan utk tdk menikah lagi krn perempuan dituntut utk setia thd (almarhum) suaminya.
      Perempuan jg dituntut utk menekan hasrat seksualnya. Menikah lagi srg kali diidentikkan dgn mslh biologis jg.
      Jdnya perempuan justru bnyk yg tdk menikah lg utk memenuhi tuntutan2 itu.
      Bnyk yg mrs tdk enak, mrs bersalah, mrs tdk nyaman, kl menikah lg stlh suaminya meninggal.
      Btw, thx jg ya buat baris terakhir koment nya hehe, seneng deh dpt pujian dr presenter 😀

      Like

  30. Mbak Ester,

    Salam kenal. Saya mahasiswi S1, keturunan Jawa (ibu saya turunan Keraton Solo). Membaca artikel Mbak ini mengingatkan saya akan sebuah buku karya Sherry Argov, “Why Men Love Bitches” (dan lanjutannya, “Why Men Marry Bitches”). “Bitch” yang dimaksudkan Argov di sini bukan tipe perempuan kasar yang susah diatur, melainkan perempuan yang manis, lembut, dan menyenangkan, dan yang menggunakan kemanisan dan kelembutannya itu untuk “mengontrol” sekitarnya, baik kehidupannya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya (termasuk laki-laki). Jadi kekuatan perempuan “bitch” ini adalah kekuatan yang rendah hati, quiet, tidak frontal dan agresif. Lucunya, kekuatan feminin semacam ini justru lebih banyak menguntungkan bagi perempuan.

    Saya sendiri tipe orang yang berpandangan luas, berprinsip kuat, dan cukup opinionated. Dulu waktu masih lebih muda saya tidak mengerti kenapa ibu saya yang Solo ini berulang kali menekankan agar saya menjaga cara bicara saya. Apapun reaksi emosi atau pendapat saya, saya harus bisa menyampaikannya dengan tenang seolah tidak tampak terusik, dan jangan sampai terlalu menunjukkan emosi. Ibu saya juga selalu menekankan agar saya menjaga adat ketimuran terutama dalam hal perilaku.

    Kini setelah lebih dewasa saya sudah mengerti filosofi seperti ini. Sementara prinsip hidup dan moral kita harus tetap kuat, memang sebagai perempuan kita harus bisa berdiplomasi menggunakan kelembutan kita. Jika pandai dalam bersikap seperti ini, saya rasa seorang perempuan bisa memperoleh apa saja yang dia inginkan (meskipun dari luar kelihatannya laki-laki yang berjasa). Pengamatan pribadi nih Mbak, sepertinya laki-laki sendiri pun lebih menyukai cara seperti ini, sebab mereka tidak merasa tersaingi atau “kalah cowok” 😀 Entah benar atau tidak 🙂

    Kemudian pengalaman saya bergaul dengan orang2 kulit putih pun kelihatannya mendukung filosofi perempuan Jawa ini (atau filosofi “bitch” kalau menurut Argov). Perempuan Barat dikenal independen dan berani bersuara, bahkan cenderung kasar atau terlalu blak-blakan kalau menurut standar timur. Sebenarnya, menurut saya, perempuan timur (esp. Jawa) sebenarnya juga independen dan memiliki suara sendiri, hanya saja cara menunjukkannya berbeda. Independensi ini diekspresikan secara subtle dan humble, sampai-sampai tidak terasa atau tidak kelihatan secara kasatmata. Makanya Argov sampai harus menulis buku “Bitch”-nya untuk membantu wanita Barat meraih kekuasaan dengan cara-cara yang feminin. Tapi ya inilah sebabnya banyak pria-pria kulit putih yang kepincut dengan gadis Asia yang punya stereotip lemah lembut, penurut, dan dedicated (padahal ini hanya “ilusi” luarnya saja) hehe.

    Ya saya mau sharing itu saja. Saya bangga menjadi perempuan Indonesia, khususnya perempuan Jawa.

    Like

    1. Dear mbak Anna, mksh bnyk buat koment nya, sy jd bnyk bljr nih 🙂
      Krg lbh dua bulan lalu sy jg ngobrol bareng Pak Aristarchus, rektor Ukrida, yg jg laki-laki Jawa. Beliau jg pny pandangan yg krg lbh sama dgn mbak Anna.
      Sy jd disadarkan slama ini sy melihat feminisme dr kaca mata yg sgt maskulin, dan berjuang dgn cara2 yg maskulin jg.
      Awalnya sy sll berpikir bhw kita engga akan prnh mengubah struktur dgn “diam-diam” spt itu, tanpa sadar bhw cara yg sy inginkan itu justru menyerang. Tp mbak Anna dan Pak Aris membuka pandangan sy bhw kl kita sama-sama tau bhw itu adlh kekuatan kita dan kita menggunakannya dgn cara yg tepat, justru kita bs mengubah struktur tanpa mrk mrs terserang. Berarti tugas slnjtnya adlh memberi kesadaran ini pd perempuan agar bs sama2 menggunakannya 🙂

      Like

  31. Waaahhhh…..blog nya rame benerrr…jadi pengen ikutan nimbrung heehehe…
    Saya setuju, mbak. Feminisme yg ada sekarang sepertinya cenderung dipengaruhi Barat. Padahal yg saya baca di bukunya Handayani, feminisme wanita melayu, khususnya Jawa sudah ada sejak dulu. Kenapa keliatan pasif ya karna budayanya memang seperti itu. Seperti halnya pesan yang disampaikan Quraish Shihab tentang Membumikan Al-Quran kan sebetulnya gimana menerapkan makna yg terkandung di kitab suci dengan budaya setempat. Ato sesuatu yang (seolah2) datangnya dari luar ya mestinya disesuaikan dengan budaya yg ada di sekitarnya. Kajian feminisme mestinya juga gitu, persoalan kultur gender di barat jelas beda dengan di timur. menurut saya, yang jadi masalah kan karna persepsi kayaknya. Pandangan ke wanita jawa yang keliatannya kalem, manut, kesannya pasif. Padahal menurut penelitian Handayani di Gunung Kidul, karakter wanita jawa gak semua seperti itu.

    Saya kebetulan juga peranakan Jogja-Solo tapi dibesarkan di luar pulau Jawa. Dulu saya benci banget jadi orang Jawa, karna Ibu saya sering mengajarkan saya tata krama jawa yang ribet, yang paling sering diajarkan adalah gemi, nastiti, ati2 (hemat, rinci, hati2). Tapi ternyata ajaran itu jadi keliatan manfaatnya sekarang, apalagi kalo udah nikah tentunya mengelola kebutuhan rumah tangga harus cermat. Kalo gak kebiasaan, bakal sulit. makanya suami saya (yang bukan orang jawa) dulu (dan sampe sekarang karna beristri orang Jawa) suka banget sama cewek Jawa. Bukan karna wani ditata, tapi keluwesan untuk masuk ke dalam lingkungan manapun. Ini yang katanya cewek Jawa lebih punya nilai feminin. Saya sendiri merasa selama ini begitu sangat manut sama suami, tapi lama2 justru dia yang selalu manut ke saya, tentunya “manut” yang beda hehehehe…. Pengalaman saya, sejatinya sebagai wanita memang senang masak, mengurus rumah, menyiapkan keperluan suami dan anak, walaupun sehari2nya saya bekerja di luar rumah tapi saya gak merasa terbebani. Saya punya naluri seperti itu, ya sudah saya jalankan. Tapi di waktu lain saya juga sering mengeluarkan sisi “feminisme” saya yang lain pada suami saya. Misal, pas weekend saya terpaksa lembur dan asisten saya pulkam, ya saya akan ngomong : “Mas, tolong nanti ke pasar, beli ini-itu, trus masak, bumbunya ini-itu, jangan kasih garam banyak2 kayak biasanya. Trus ntar nyapu, trus di pel. Kalo ngepel dapur pake pembersih yang ini, yang itu utk ruang tamu, dll…” dan suami saya gak pernah keberatan. Mungkin saya ngeliat dari Ibu saya yang bisa mengendalikan Ayah saya dan kakak2 saya yang semuanya laki2. Beliau tau kapan saatnya laki2 ingin dihargai nature-nya sebagai laki2, dan kapan saatnya laki2 harus manut ke wanita. Handayani juga mencontohkan Bu Tien Suharto yang bisa mengendalikan mantan Presiden RI.
    Jadi, biarpun di bolak balik, atas, bawah, kiri, kanan, bagaimanapun juga saya tetap wanita Jawa dan saya bangga menjadi wanita dan memiliki kultur jawa.

    Like

    1. Mksh bnyk udah ikutan nimbrung, mbak Diandra 🙂
      Aku cm pengen nambahin kl feminisme sendiri sbnrnya jg tdk menentang perempuan utk memasak, mengurus keperluan suami n anak2,dll yg selama ini “dilekatkan” sbg tugas-tugas perempuan. Tp ya itu, mksdnya jgn menganggap tugas-tugas itu sbg kodrat perempuan, seolah2 perempuan kudu mesti hrs bisa melkkannya, en perempuan yg gak bs melkkannya dianggap sbg bukan perempuan, en sblknya laki-laki yg pinter melkkannya dianggap spt perempuan.. 😉
      Btw, aku jg dpt cerita dr seorg teman ttg pendeta, laki-laki, dan jg Jawa, hehe, yg mengartikan kata wanita itu sbg wani menata, bukan wani ditata.. pandangannya sendiri thd perempuan Jawa krg lbh sama dgn Handayani 🙂

      Like

  32. jeng ester……..
    panggil aja aku camar…
    usiaku belum genap 22th..tapi,aku uda di didik keluargaku untuk bisa dg ikhlas menjadi “KONCO WINGKING” atw GarWa yang baik untuk suamiku kelak,……
    tadinya aku bener” merasa terbatasi,……tapi,.setelah membaca tulisan njenengan,.aku malah termotivasi bgtz,…
    semua jadi serba terbalik,…..
    makasih bgtz ea,jeng……..

    Like

    1. Ester Lianawati Avatar

      Hai Camar,
      terima kasih jg utk komentarnya, smg memberi motivasi jg utk teman2 lain 🙂

      Like

  33. siti mukminatun Avatar

    Salam kenal mbak. Menarik sekali tulisan mbak tentang wanita jawa. Di tulisan itu mbak mengutip dari beberapa tulisan. Terus terang saya tertarik untuk mengadakan penelitian tentang perempuan jawa. Bolehkah saya minta info sumber pustaka dari yang mbak kutip. Terimakasih.

    Like

    1. Salam kenal juga Mbak Siti, maaf saya sudah kehilangan file dari tulisan ini. Yg saya ingat cuma buku Kuasa Wanita Jawa yang ditulis Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto. Bukunya sdh ada di google book 🙂

      Like

  34. Pengertian ‘”Konco wingking” tidak bisa dimaknai dangkal sebagai orang dengan urusan2 belakang. tapi justru ibarat restauran, enak dan gaknya sajian makanannya tergantung koki. Demikian pula dalam rumah tangga. istri akan terlibat dalam strategi kebijakan suami yang nantinya suami akan menjalankan, sebaliknya konco wingking juga akan berperan banyak dalam mendidik anak2nya sebagai eksekutif pendidik dengan garis2 besar haluan suami. Disini sangat jelas makna kesetaraan dalam posisinya masing2.

    Hal ini sekaligus menjawab kalo ada yang mengatakan wanita jawa siap menderita dengan posisi yang rendah, itu juga gak benar.

    Bagaimana dengan posisi perempuan dikalangan tertentu [ biasanya yang wanita menutup rapat semua bagian tubuh, dan yang pria suka berjenggot dengan celana joglang/ lebih tinggi dari mata kaki]. Perempuan tidak lebih hanya dianggap sebagai MESIN PRODUKSI ANAK?

    Like

  35. Hi Mba Ester, salam kenal. Kebetulan saya lg riset budaya jawa dan gender, eh ketemu blognya mba Ester. Asik bgt blognya, jd menambah pengetahuan. Sering-sering deh ada blog seperti ini jadi bs menambah wawasan baik utk kaum perempuan dan laki-laki (biar nga bias gender…ehhehee).
    Sukses slalu ya mba.

    Like

    1. Ester Lianawati Avatar
      Ester Lianawati

      Trm ksh, Miss DK 🙂 Sukses jg utk risetnya ya Mbak.

      Like

  36. pemikiran2 yg menarik.
    senang membaca nya.
    terus menulis ya.

    Like

    1. Ester Lianawati Avatar
      Ester Lianawati

      Matias !!!! Thx ya. Kok bisa kesasar ke blog ini? Apa kbr? 🙂

      Like

  37. oh ya Tolong Mbak baca buku ini di google. books–>Asia: Case Studies in the Social Sciences : a Guide for Teaching, karya Cohen

    Trus patriarki artinya apa ya Mbak…saya tahu kalau ini neg-uneg, hanya saja saya agak kesal kalau bilateral-nya orang Jawa dan Sunda disamakan dengan patriarki Eropa dan Jepang, apalagi China setelah konfusius.

    Bisa dicheck juga di buku antropologi SMA, Maaf saya cuma meluruskan. Jangan mau kaya Kartini “ditipu” sama feminis Belanda. Karena bilateral yang sesungguhnya itu berbeda dengan patriarkal atau matriarkal versi khayalan orang Eropa. So ini cuma masalah perbedaan persepsi. Dan saya yakin pasti ada tahu 🙂
    Seperti Kraeplin yang berhipotesis alasan orang Jawa lebih sedikit dementia praecoxnya adalah karena orang Jawa lebih primitif…sangat bias dan aneh. Yah, karena dia bukan ahli antropologi, tapi lebih ke sains natural, jadi ini bias orang Eropa.

    Hanya saja kok kita yang hidup bertahun-tahun (ratusan kali ya) setelah teori dementia praecoxnya diganti istilahnya jadi skizofrenia aja masih berpikir kaya orang ini, kan lucu. Apalagi pendapat bahwa kita kanca wingking itu sepertinya diperkuat oleh tokoh Kartini yang kontroversial. Iya mungkin Kartini hidup di budaya elit Jawa yang sangat tidak bilateral, makanya dia berpendapat seperti itu.

    Tapi kenyataannya, dari observasi saya, suku Jawa bukan patriarki, tapi bilateral, justru di kalangan bawahnya. Kalau patriarki, kita perempuan Jawa harus ganti nama secara resmi kalau sudah menikah, orang tua ga akan peduli dengan warisan kita, dan kita juga ga akan dapat hak yang sama dengan saudara lelaki kita. Jadi, saya rasa ada baiknya mengecheck ke kenyataan dl, karena bisa jadi penelitian antrologis itu salah, karena lebih banyak antropolog yang lebih baik secara analisis komparatif daripada yang berpendapat bahwa suku Jawa itu patriarkal.

    Bahkan di buku di atas dijelaskan juga lho secara teori Jungian, apa kesadaran kolektif yang menjadikan kita bilateral, yaitu adanya cross-sex pair sebagai fondasi kehidupan. Itu bedanya dengan masyarakat patriarki seperti Jepang pasca Konfusianisme. Karena itu saya lebih percaya. Kita punya Dyah Gitarja dan Sangramawijayatunggadewi sebagai bukti dlm bidang politik soal bilateral ini.

    Soal pasif, laki-laki Jawa juga pasif. Itu kenyataannya. Terimakasih

    Like

    1. Ester Lianawati Avatar

      Wah terima kasih utk uneg2nya eh komentar dan masukannya 🙂
      Memang tulisan ini sekedar “pembukaan”, sy bnyk mendapat masukan yg kritis dan menarik baik dr komentar2 yg masuk ke blog maupun diskusi langsung dgn rekan2.
      Intinya kl boleh sy simpulkan kita mmg tdk bs menerapkan feminisme barat utk perempuan Indonesia, apalagi kl sudah bicara ttg latar belakang budaya2 yg lbh spesifik lg.
      Utk teman2 yg membaca tulisan ini, silakan baca juga komentar2 yg ada, yg justru lbh “kaya” dr tulisannya lho 🙂

      Like

  38. Apa kabar mbak Lia, semoga sehat-sukses selalu…

    Like

Leave a reply to restlessangel Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.