Dear all, tulisan ini dibuat kurang lebih 10 tahun lalu. Versi yang sudah diperbaharui dan dilengkapi (menjadi 25 halaman), dapat ditemukan dalam buku ADA SERIGALA BETINA DALAM DIRI PEREMPUAN -Psikologi Feminis Untuk Meretas Patriarki, diterbitkan akhir Oktober 2020 lalu oleh EA Books.
Kami juga mengundang teman-teman untuk menghadiri acara bedah buku ini hari Minggu, 9 Mei 2021 :
Teori pembentukan kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud merupakan teori yang sangat mendasar, khususnya dalam psikologi. Teori ini wajib dipelajari mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi di universitas manapun. Teori ini bahkan dibahas dalam beberapa mata kuliah wajib dalam beberapa semester.
Sayangnya, teori Freud tidak pernah diberikan secara utuh dalam perkuliahan. Ada bagian yang ditinggalkan, yang sebenarnya teramat penting. Dengan mengabaikan bagian ini, maka pengajar dapat mengarahkan mahasiswa dan mahasiswi untuk melakukan kesalahan dalam mengaplikasikan teori tersebut. Dan sepertinya kesalahan ini telah berlangsung dari generasi ke generasi.
Kesalahan tersebut sebenarnya wajar terjadi karena memang tidak banyak buku psikologi yang mengupas tuntas teori Freud. Hanya buku-buku psikologi perempuan yang menyajikannya dengan lengkap. Sayangnya mata kuliah psikologi perempuan bukanlah mata kuliah wajib, hanya sebuah mata kuliah pilihan. Sebagai pilihan, tidak banyak Fakultas Psikologi yang membuka mata kuliah ini. Jika ada pun, tidak banyak mahasiswa yang memilihnya karena nama mata kuliah ini telah menyurutkan niat para mahasiswa (laki-laki) untuk mengambilnya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mencoba memaparkan aspek yang luput dari pembahasan terhadap teori Freud selama ini.
Pada tahun 1905, Freud mengemukakan teorinya mengenai perkembangan seksual dalam Three Essays on the Theory of Sexuality. Pada masa itu, anak-anak dianggap tidak berkelamin sehingga tidak memiliki hasrat seksual. Namun Freud berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa seksualitas manusia berkembang dari sejak ia dilahirkan. Saat lahir, seorang anak memiliki energi seksual yang disebutnya sebagai libido. Libido tersebut belum ditujukan kepada satu obyek tertentu dan belum terlokalisasi pada satu area tubuh. Oleh karena itu libido tersebut dinamakan Freud dengan polymorphous perversity. Tiap anak akan berkembang secara bertahap dari tahap polymorphus ini menuju libido yang terarah dan terlokalisir dalam area tubuh tertentu. Freud menyebut area tersebut sebagai erotogenic zones, yaitu wilayah tubuh yang sensitif terhadap stimulasi yang membawa kenikmatan.
Dimulai dari tahap oral ketika anak mendapatkan kepuasan melalui apa yang masuk dalam mulutnya. Berlanjut dengan tahap anal saat anak berusia dua sampai tiga tahun. Pada tahap ini, anak mendapatkan sensasi ketika menahan dan mengeluarkan kotoran. Menyusul kemudian tahap phallic saat anak berusia 3 sampai dengan 4 tahun. Pada tahap ini, anak mendapatkan kepuasan dari alat kelaminnya dengan melakukan yang Freud sebut sebagai masturbasi kanak-kanak. Anak laki-laki mendapatkan kepuasan dari stimulasi pada penisnya, dan anak perempuan pada klitoris. Di sinilah asal kata tahap phallic, yang berarti phallus atau penis. (Dari pemilihan katanya, terlihat bagaimana Freud lebih berfokus pada anak laki-laki).
Pada tahap phallic, anak laki-laki mengembangkan cinta kepada ibunya. Freud menyebutnya sebagai kompleks Oedipus, diambil dari kisah Oedipus yang membunuh ayahnya untuk mendapatkan ibunya. Namun melihat klitoris yang dimiliki ibu dan anak perempuan lainnya, ia berpikir bahwa mereka telah dikastrasi oleh ayahnya. Ia menjadi takut dikastrasi sehingga mematikan cinta kepada ibunya dan beridentifikasi dengan ayahnya, dengan mengikuti aturan-aturan dan nilai-nilai yang dimiliki ayahnya.
Setelah itu adalah tahap latency, dimana anak berhenti menampilkan seksualitasnya secara terbuka. Impuls seksual itu sendiri tidak mati, hanya ditekan sementara untuk akhirnya muncul lagi pada saat pubertas. Pada masa pubertas ini, anak mulai memasuki tahap genital, yang dicirikan dengan kemunculan kembali energi seksual. Namun kali ini energi tersebut bukan lagi ditujukan untuk stimulasi diri sendiri, namun diarahkan kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda.
Dalam pandangan Freud, perkembangan laki-laki dan perempuan mulai berbeda pada tahap phallic. Kompleks Oedipus tidak dialami perempuan. Dampak dari tidak dialaminya kompleks Oedipus ini membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan perempuan. Sayangnya hal ini luput dalam perkuliahan psikologi. Sejumlah buku psikologi bahkan menyajikan suatu kesalahan dengan menyebutkan bahwa pada perempuan, kompleks Oedipus ini dinamakan dengan kompleks Elektra. Kompleks Elektra menceritakan bagaimana anak perempuan mencintai ayahnya dan mengambil nilai-nilai ibunya. Dengan menjadi serupa ibunya, anak perempuan meyakini akan memperoleh cinta ayahnya sama seperti ibunya. Perlu diketahui bahwa istilah kompleks Elektra ini tidak disebutkan oleh Freud, melainkan oleh para pengikutnya. Selain itu, kisah kompleks Elektra ini meskipun tidak salah, namun kurang tepat.
Menurut Freud, anak perempuan tidak mengalami ketakutan akan kastrasi sebagaimana yang dialami anak laki-laki. Ketika melihat klitorisnya, anak perempuan justru meyakini bahwa ia telah dikastrasi. Sama seperti anak laki-laki, ibu juga merupakan obyek cinta pertama bagi anak perempuan. Hal ini wajar mengingat pada tahap psikoseksual pertama, yaitu oral, baik anak laki-laki maupun perempuan mendapatkan kepuasan dari ibunya, terutama melalui payudara ibu yang mengalirkan makanan. Namun ketika melihat klitoris, baik klitorisnya maupun klitoris ibu dan anak perempuan lain, serta membandingkan dengan penis yang dimiliki laki-laki, ia pun berasumsi bahwa ibu dan semua perempuan telah dikastrasi oleh ayahnya. Menyadari hal itu, anak perempuan justru merasa jijik terhadap ibunya, dan barulah kemudian ia mengalihkan cinta kepada ayahnya. Proses pengalihan ini sangat ditekankan oleh Freud. Menurutnya, perempuan dapat sewaktu-waktu kembali kepada obyek cinta asal tersebut. Dengan perkataan lain, perempuan memiliki kemungkinan besar untuk menjadi lesbian.
Tidak adanya ketakutan akan kastrasi pada diri perempuan juga akan membawa pengaruh signifikan dalam perkembangan superegonya. Pada laki-laki, karena ketakutannya akan dikastrasi, justru mendorongnya untuk patuh pada Hukum Ayah. Dengan tunduk pada Hukum Ayah, laki-laki justru belajar mengendalikan hasrat terhadap ibunya dan bersabar menunggu gilirannya untuk mendapatkan perempuannya sendiri kelak. Oleh karena itulah, ketakutan akan dikastrasi, justru memungkinkan anak laki-laki berkembang menjadi laki-laki dewasa yang matang. Ia mampu mengendalikan diri, memiliki moralitas, dan dapat belajar mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Menurut Freud, hal ini akan menjadi bekal bagi laki-laki untuk masuk ke dalam masyarakat, untuk aktif berorganisasi bahkan berpolitik. Sedangkan perempuan, karena tidak pernah mengalami ketakutan akan kastrasi tersebut, superegonya tidak pernah berkembang dengan sempurna. Ia menjadi manusia yang lemah, yang tidak pernah belajar patuh pada Hukum Ayah, dan akhirnya tidak dapat berpartisipasi pada ranah publik. Wilayah perempuan hanya domestik, yaitu di rumah, menjadi istri dan ibu.
Selain itu, dengan mengubah obyek cinta dari ibu kepada ayah, maka perempuan pemuasan seksualnya pun berubah dari klitoris ke vagina. Serupa dengan penis (meskipun telah dikastrasi), klitoris dalam pandangan Freud adalah seksualitas aktif. Sedangkan vagina adalah sesuatu yang pasif, yang membutuhkan penis untuk mencapai kepuasan. Jadi ketika anak perempuan mengalihkan obyek cinta kepada laki-laki, ia kehilangan maskulinitasnya (aktif) dan mulai mengambil nilai-nilai feminin (pasif). Pengalihan klitoris ke vagina ini dapat menjadi cikal bakal munculnya neurotisme (gangguan kejiwaan) bagi perempuan jika perempuan tidak dapat melaluinya dengan baik. Hal ini dikarenakan klitoris sulit untuk didesensitisasi. Ada kemungkinan perempuan dewasa akan kembali pada kepuasan klitoris dengan melakukan masturbasi seperti saat ia berusia 3-4 tahun di tahapan phallic. Atau perempuan juga dapat menjadi frigid, mengakhiri seksualitas karena bosan terus menekan hasrat klitoris.
Jadi menurut Freud, perempuan akan lebih mungkin menjadi neurotik dibandingkan laki-laki karena kepuasan seksualnya berubah dari klitoris ke vagina sedangkan laki-laki tetap pada penisnya. Lebih lanjut perempuan neurotik ini akan sulit sembuh meskipun diterapi. Hal ini dikarenakan superegonya tidak berkembang dengan baik, sehingga ia menjadi rigid dan tidak dapat menggunakan kesempatan untuk sembuh yang tersedia melalui terapi.
Pandangan Freud yang sangat pesimis terhadap perempuan masih dapat dilihat dalam teorinya mengenai kecemburuan terhadap penis (penis envy). Kecemburuan ini muncul ketika anak perempuan melihat bahwa ia tidak memiliki penis. Kelak saat dewasa, kecemburuannya ini membuatnya menginginkan bayi sebagai pengganti penis. Menjadi ibu dan melahirkan, menurut Freud, dapat menggantikan kehilangan penis yang dialami perempuan. Apalagi jika anaknya adalah laki-laki, yang dapat dijadikan si ibu sebagai realisasi ambisinya yang telah ditekannya ketika ia harus mengalihkan kepuasan klitoris (aktif, maskulin) ke vagina (pasif, feminin).
Bahkan sekalipun penis dapat digantikan dengan bayi, kecemburuan terhadap penis itu sendiri memiliki konsekuensi jangka panjang pada perempuan. Freud menyebutnya sebagai sisa-sisa/residu dari kecemburuan terhadap penis (residual of penis envy). Residu ini muncul dalam tiga bentuk. Pertama, perempuan akan menjadi narsis, yaitu terokupasi pada diri. Ia memiliki keinginan kuat untuk dicintai, suatu keinginan yang bersifat pasif karena ia telah mengalihkan tujuan seksualnya dari klitoris aktif ke vagina yang pasif. Kedua, perempuan akan mengalami kekosongan dengan berfokus pada penampilan fisik. Penampilan fisik yang menarik dijadikannya alat untuk menutupi kekurangannya atas penis yang tidak dimilikinya. Terakhir, perempuan memiliki rasa malu yg dibesar-besarkan. Misalkan ia membutuhkan ruang tertutup untuk mengganti pakaian karena ia malu melihat tubuhnya yang telah terkastrasi.
Tidak dapat disangkal bahwa Freud adalah seorang yang cerdas dan analitis. Ia dianggap mampu membawa keluar suatu hal yang sangat dasar dalam kehidupan manusia, yaitu seks. Topik energi seksual yang dibahasnya pada tahun 1905 juga mengguncang dunia intelektual saat itu. Hal ini dikarenakan pada masa itu, khususnya di tempat tinggalnya di Vienna, seks merupakan suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Namun demikian, teorinya mengenai perkembangan manusia sangat pesimis, khususnya mengenai perempuan.
Tulisan ini ditujukan untuk membuka pemahaman yang lebih komprehensif mengenai teori Freud. Diharapkan setelah ini, kita tidak lagi melakukan kesalahan dalam menggunakan teori Freud. Yakni kita tidak lagi membahas perkembangan perempuan dengan teori perkembangan laki-laki. Namun lebih dari itu, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menyikapi teori Freud. Apakah kita meyakini bahwa perempuan cemburu terhadap penis, dan karenanya menjadi narsis, berfokus pada penampilan fisik, dan memiliki rasa malu yang besar? Apakah kita menerima bahwa perempuan harus menjadi ibu untuk menggantikan penisnya yang telah dikastrasi menjadi klitoris? Apakah kita percaya bahwa superego perempuan memang lemah sehingga sulit untuk mengalami proses kemajuan dalam sebuah terapi? Apakah kita menerima bahwa superego perempuan lemah dan karenanya perempuan tidak pantas untuk bekerja di luar rumah, berpartisipasi dalam masyarakat, dan lebih luas lagi dalam dunia politik? Apakah kita meyakini bahwa takdir kita sebagai manusia ditentukan oleh anatomi biologis kita? Dan ketika kita adalah seorang perempuan, maka ia tidak dapat bertumbuh ke arah yang lebih baik karena penisnya telah dikastrasi menjadi klitoris?
Semua tentunya berbalik kepada pandangan kita masing-masing. Namun perlu diingat bahwa teori Freud didasarkan pada pengalamannya menghadapi klien-klien perempuan yang neurotik, yang dibesarkan dalam budaya Vienna yang patriarkal pada awal abad 19, yang masih menganggap tempat ideal perempuan adalah di rumah dan perempuan ideal adalah seorang istri dan ibu. Jika kita melakukan generalisasi teori Freud untuk semua perempuan dan laki-laki maka sebenarnya kita telah melakukan suatu kesalahan metodologis.
Sumber Acuan
Tong, Rosemarie Putnam, terj. Feminist Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada arus Utama Pemikiran Feminis. Oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra, 2004.
Williams, Juanita H. Psychology of Women. Behavior in a Biosocial Context. 3rd ed. USA : W.W. Norton & Company, Inc. 1987.
Leave a reply to esterlianawati Cancel reply