Feminisme Eksistensialis, Sebuah Tinjauan dan Refleksi

💜 Baru saja terbit buku tentang Simone de Beauvoir berjudul BEAUVOIR MELINTAS ABAD. Dapat ditemukan di Shopee dan Tokopedia 💜

Simone de Beauvoir, yang memiliki nama lengkap Simone Ernestine Lucia Marie Bertnand de Beauvoir, dikenal sebagai tokoh feminis eksistensialis* khususnya sejak bukunya Le deuxième sexe (The second sex) diterbitkan pada tahun 1949.

* Istilah feminisme eksistensialis sebenarnya tidak pernah ada di Perancis. Silakan ditengok pula tulisan ini : Feminisme eksistensialis yang tak pernah eksis

Dalam menjelaskan teorinya mengenai perempuan, Beauvoir mengacu pada teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. 

Perbedaan antara filsafat Beauvoir dan Sartre dapat dibaca di sini

Menurut Sartre, ada tiga modus “Ada” pada manusia, yaitu Ada dalam dirinya (etre en soi), Ada bagi dirinya (etre pour soi), dan Ada untuk orang lain (etre pour les autres). Etre en soi adalah ada yang penuh, sempurna, dan digunakan untuk membahas obyek-obyek yang non manusia karena ia tidak berkesadaran. Sedangkan etre pour soi mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang merupakan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas menidak. Hal ini sama dengan kebebasan untuk memilih.

Konsep Sartre yang paling dekat dengan feminisme adalah ‘Ada untuk orang lain’. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia. Sayangnya dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain” (Other). Jadi laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah obyek. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.

Dalam Le deuxième sexe, Beauvoir menjelaskan pandangan biologis, psikoanalisis, dan Marxis terhadap ke-Liyanan perempuan. Menurutnya ketiga pandangan tersebut tidak memadai untuk menjelaskan mengapa masyarakat memilih perempuan untuk menjalankan peran Liyan. Misalkan menurut Beauvoir, perempuan ‘mencemburui’ mereka yang memiliki penis, bukan karena ingin memiliki penis itu sebagai penis seperti yang dikatakan Freud. Melainkan perempuan menginginkan keuntungan material dan psikologis yang dihadiahkan kepada pemilik penis. Beauvoir juga menentang pendapat Engels. Menurutnya,  perubahan dari kapitalisme menuju sosialisme tidak akan secara otomatis mengubah relasi perempuan dan laki-laki. Hal ini dikarenakan opresi terhadap perempuan lebih dari sekedar faktor ekonomi, tetapi yang lebih utama adalah faktor ontologis.

Menurut Beauvoir, laki-laki dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos bahwa perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mau mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Karena itu, menjadi istri dan ibu adalah dua peran feminin yang membatasi kebebasan perempuan. Menurutnya perkawinan dapat merusak hubungan pasangan. Perkawinan mentransformasi perasaan yang tadinya diberikan secara tulus, menjadi kewajiban dan hak yang diperoleh dengan cara yang menyakitkan. Lebih lanjut kehamilan dapat mengalienasi perempuan dari dirinya sendiri. Dan akhirnya anak dapat menjadi tiran yang menuntut ibunya dan menjadikan ibunya sebagai obyek.

Beauvoir juga melihat perempuan pekerja menjadi Liyan karena di mana pun juga ia diharuskan menjadi dan bersikap dalam femininitas. Tetapi tiga jenis perempuan yang memainkan peran perempuan hingga ke puncaknya adalah pelacur, narsis, dan perempuan mistis. Analisis Beauvoir terhadap pelacur cukup kompleks. Di satu sisi ia memandang pelacur sebagai Liyan, obyek, yang dieksploitasi. Di sisi lain, pelacur dapat menjadi Diri, Subyek, yang mengeksploitasi. Beauvoir memandang perempuan panggilan (hetaira) mempunyai lebih banyak kekuasaan, setidaknya ia memanfaatkan ke-Liyanannya untuk kepentingan dirinya.

Narsisisme pada perempuan adalah hasil dari ke-Liyanannya. Perempuan narsis menjadi obyek pentingnya sendiri. Ia percaya bahwa dirinya adalah obyek sebagaimana ditegaskan oleh orang di sekitarnya. Ia terpesona dan menjadi obsesif terhadap citranya sendiri : wajah, tubuh, dan pakaiannya. Ia menjadi terikat untuk memenuhi kebutuhan hasrat laki-laki dan menyesuaikan diri dengan selera masyarakat. Sementara itu, perempuan mistis tidak dapat membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan laki-laki dengan Tuhan. Dalam pandangan Beauvoir, perempuan ini berbicara tentang Tuhan seolah-olah Ia adalah manusia biasa dan membicarakan laki-laki seolah laki-laki adalah Dewa.

Untuk mentransendensi batasan-batasannya, perempuan harus menolak menginternalisasikan ke-Liyanannya. Karena menerima Liyan dapat membuat perempuan menjadi obyek, bahkan Diri yang terpecah. Misalnya saja kostum dan style telah memotong tubuh feminin dan membatasinya dari segala kemungkinan untuk transendensi. Contoh keterpecahan perempuan adalah fenomena siulan dan komentar seksual laki-laki. Perempuan biasanya berusaha mengabaikannya, tidak menganggapnya sebagai suatu masalah dengan pembenaran bahwa itu “hanya mengenai tubuh”. Jadi perempuan memisahkan antara pikiran dan tubuh ; ia pecahkan dirinya dan pada saat yang sama ia menginternalisasikan dirinya sebagai Liyan.

Dengan bukunya, Le deuxième sexe, Simone de Beauvoir menyerukan agar perempuan berhenti menerima peng-liyan-an ini, menolak menjadi objek, dan mulai menjadi subjek untuk mengambil kendali atas hidupnya sendiri.

Untuk memahami konsep feminisme Beauvoir, saya mencoba memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan eksistensialisme itu sendiri.

Eksistensialisme merupakan suatu gerakan filosofis yang mempelajari pencarian makna seseorang dalam keberadaannya (eksistensinya). Manusia yang eksis adalah manusia yang terus berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Karena berbicara mengenai makna, eksistensialisme tidak memperlakukan individu sebagai sekedar konsep, melainkan menghargai subyektivitas individu jauh melampaui obyektivitasnya.

Berkebalikan dari Aristoteles yang mengatakan bahwa esensi mendahului eksistensi seseorang, para filsuf eksistensialisme, khususnya Sartre mempercayai bahwa eksistensi mendahului esensi. Tidak seperti peralatan yang memang diciptakan untuk suatu tujuan, manusia ada awalnya tanpa tujuan. Tetapi justru manusia berusaha menemukan dirinya dalam dunia dan mendefinisikan maknanya dalam eksistensinya. Dalam pendefinisian makna ini, manusia memiliki kebebasan yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Namun kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Manusia bertanggung jawab untuk bebas menentukan pilihan hidupnya (responsibility for choices) dan bertanggung jawab untuk konsekuensi-konsekuensi pilihan tersebut. Menyangkal tanggung jawab ini berarti manusia berada dalam kondisi, yang dinamakan Sartre sebagai bad faith.

Berangkat dari pemahaman eksistensialisme inilah saya mencoba memahami lebih lanjut feminisme eksistensialis yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir. Beauvoir terkenal dengan pernyataannya bahwa perempuan dalam eksistensinya di dunia ini hanya menjadi Liyan bagi laki-laki. Perempuan adalah obyek dan laki-laki adalah subyeknya.

Sebuah film berjudul Malena membantu saya untuk memahami pandangan Simone de Beauvoir tentang obyek dan subyek. Malena yang dibintangi Monica Belucci adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Suatu ketika ia ditinggalkan suaminya untuk mengikuti wajib militer. Sejak saat itu kehidupannya mulai berubah. Ia mengalami banyak hambatan untuk menghidupi dirinya sendiri, terlebih setelah ayahnya meninggal dunia. Nasib buruk mulai menimpa Malena dan penyebab utamanya adalah kecantikannya. Banyak laki-laki menggodanya, dan banyak perempuan membencinya. Malena tidak menanggapi godaan para laki-laki, namun hal itulah yang menyebabkan ia sulit memperoleh pekerjaan. Akhirnya ia pun menjadi pelacur yang melayani tentara-tentara musuh.

Ketika perang usai, negara musuh kalah dan negara Malena menang dalam, ia dihujat oleh para perempuan di lingkungannya. Ia diseret ke luar, diludahi, dimaki, dan perlakuan lain yang tidak baik ditujukan kepada Malena. Sampai akhirnya suaminya kembali dan menemukan Malena dalam situasi demikian. Hujatan pun terhenti. Sang suami membawanya pulang. Selanjutnya kehidupan Malena kembali normal. Film diakhiri dengan adegan Malena kembali disapa para tetangga dan diberi anggukan saat ia berjalan sambil memegang tangan suaminya.

Sebelum saya mengenal teorinya Simone de Beauvoir, saya sangat terharu menyaksikan film Malena, khususnya saat adegan-adegan terakhir. Saya menganggap sang suami sangat baik dan mencintai Malena. Ia menerima Malena apa adanya sekalipun istrinya telah menjadi pelacur. Apalagi adegan sang suami membawa pulang Malena ditampilkan tanpa percakapan apapun. Seolah menekankan penerimaan penuh dari suaminya. Namun setelah memahami feminisme eksistensialisme, saya melihat sisi lain dari film tersebut. Malena bukan hanya obyek. Ia bahkan digambarkan tidak eksis tanpa laki-laki, dan hanya eksis karena laki-laki. Semasa ayahnya masih hidup, sikap masyarakat terhadap Malena belum negatif meskipun suaminya tidak ada. Setelah ayahnya meninggal, semua pelecehan terhadap Malena langsung terjadi.

Jadi sang ayah, laki-laki, menggantikan posisi suami Malena, yang juga laki-laki. Setelah tidak ada laki-laki, maka tidak ada lagi ‘pelindung’ Malena. Malena tidak mendapat pekerjaan karena laki-laki tidak memberikannya. Malena akhirnya bekerja sebagai pelacur untuk melayani kebutuhan laki-laki. Dan ketika suaminya–laki-laki– kembali, Malena pun kembali dihormati. Ia kembali mendapatkan eksistensinya di mata masyarakat. Jadi Malena, si perempuan, tidak dapat menjadi subyek bagi hidupnya sendiri. Lebih dari itu, eksistensi Malena, si perempuan, hanya dimungkinkan karena adanya laki-laki.

Dalam dunia nyata juga banyak terdapat Malena-Malena lainnya. Meski saat ini penilaian negatif masyarakat mulai berkurang, perempuan yang menjadi janda, apalagi usianya masih relatif muda, cenderung kehilangan eksistensinya di masyarakat. Ia rentan menerima berbagai pelecehan terkait dengan statusnya. Untuk mengembalikan eksistensinya pun, ia harus menikah kembali, dengan seorang laki-laki tentunya. Jadi laki-laki seolah berperan sebagai dewa penolong, yang akan mengembalikan statusnya sebagai perempuan ‘terhormat’.

Dalam refleksi ini, saya juga ingin mengangkat satu kalimat yang diungkapkan oleh Beauvoir, yaitu “One is not born, but rather becomes a woman” (Beauvoir, 295). Menurut Margaret A. Simons, yang ikut menganalisis buku harian dan surat-surat Beauvoir kepada Sartre, ada dua elemen dalam konsep ini. Pertama gender dikonstruksi secara sosial, hasil dari sosialisasi masa kanak-kanak. Sebagaimana yang dikatakan Beauvoir dalam kalimat selanjutnya bahwa bukan takdir ekonomi, biologis, dan psikologis yang menentukan figur perempuan, melainkan peradaban (civilization).

Selama ini perempuan dikonstruksi sedemikian rupa untuk menjadi perempuan yang ‘diinginkan’ masyarakat. Perempuan hanya menjadi Liyan dalam berbagai aspek, dalam berbagai bentuknya. Elsthain telah mengkritik Beauvoir bahwa ia memandang tubuh perempuan sebagai negatif dan malah merayakan norma laki-laki. Berbeda dengan Elsthain, saya tidak melihat Beauvoir dalam pandangan yang demikian. Saya lebih menyetujui pandangan Aquarini Priyatna Prabasmoro yang menyatakan bahwa gambaran Beauvoir terhadap perempuan hanya merefleksikan fakta yang ada dalam masyarakat.

Perempuan memang tidak dikonstruksi untuk merayakan tubuhnya. Payudara dan penis pun tidak pernah dihargai setara dalam masyarakat. Payudara justru dianggap sebagai penanda bahwa seorang perempuan lebih dekat dengan binatang (Prabasmoro, 59). Lain halnya dengan penis. Sejak kecil, laki-laki diajarkan untuk berbangga dengan penisnya. Laki-laki seringkali ‘mengukur’ seberapa panjang penisnya dan seberapa jauh ‘tembakan’ yang berhasil dilakukan ketika ia buang air kecil. Tidak demikian dengan perempuan. Perempuan tidak pernah diajarkan untuk berbangga atas tubuhnya. Yang terjadi adalah perempuan dibentuk sedemikian rupa untuk melihat kekurangan dalam tubuhnya karena tubuh perempuan dijadikan obyek yang dinilai. Tidak percaya diri karena payudara terlalu besar atau sebaliknya terlalu kecil, perempuan justru mengembangkan kompleks atas tubuhnya.

Eksistensialisme dari Beauvoir akan lebih terasa jika kita bicara mengenai elemen kedua dari kalimat yang saya kutip di atas, yaitu “One is not born, but rather becomes a woman“. Elemen kedua adalah gender merupakan suatu proses menjadi, karena itu mengandung makna pilihan dan perubahan (choice and change). Gender adalah suatu proses yang terbuka terhadap tindakan sosial dan pilihan individual. Judith Butler menyebut elemen kedua ini sebagai sisi eksistensialisme dari Beauvoir.

7 responses to “Feminisme Eksistensialis, Sebuah Tinjauan dan Refleksi”

  1. sebetulnya feminisme merupakan gerakan persamaan dari wanita barat yang kurang dihargai dan selama wanita tidak tahu akan kedudukannya dan kurang bijak maka dalam benaknya hanya ada deskrimanai terhadap perempuan!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Like

    1. esterlianawati Avatar
      esterlianawati

      iya, setuju. en krn msh bnyk perempuan yg blum tau, skrg saatnya kita ks tau mrk 😉

      Like

  2. u dah baca the second sex ya. gw mo diskusi bisa ga..gw lagi bikin skripsi ttg simone de beauvoir. atw klo u ga bisa tlg cariin temen feminis yg bisa bantu gw diskusi.. … thankss

    Like

    1. cek emailmu ya, zardens 😉

      Like

  3. Pembahasan yang mudah dimengerti dan komprehensif ttg feminisme eksistensialis, Terima kasih ya, sangat berguna buat ngerjakan tugas. Dari pada baca buku nya Rosmary yg bahasanya ampun dije,,,

    Like

  4. ka, tahu tokoh feminisme eksistensialis ngga selain simone de beuvoir?

    Like

    1. Hai Dephi, saya baru memuat tulisan di blog hari ini dengan judul ‘feminisme eksistensialis : tinjauan ulang”. Tulisan ini ada berkat pertanyaan kamu, terima kasih 🙂
      Semoga masih bermanfaat ya, Dephi, maaf, saya baru aktif kembali di blog ini.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.